Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Ketua PGRI Kab Magelang, Organisasi dan Power

"Sak pinter-pintere uwong yen gak berorganisasi gak duwe power."

Itulah kata yang disampaikan Bapak Muslih, S.Pd. MAcc., Ketua PGRI Kabupaten Magelang. Deretan kata tersebut terngiang selama perjalanan dari rumah beliau Ahad kemarin (14/04). Pertemuan yang seperti penataran singkat tentang keorganisasian ini membekas kuat di sanubariku.

Pernyataan di atas dilatar belakangi ketika Kabid Pembinaan SD Disdikbud Kabupaten Magelang ini menceritakan gambaran terkait proses legislasi yang terjadi di pusat dan daerah. Proses legislasi yang saya maksud disini adalah proses perumusan kebijakan. Memang pengalaman dan pengamatan saya selama ini tentang proses perumusan kebijakan lebih memperhatikan orang-orang yang memiliki power daripada orang "pinter".

Power atau kekuatan di era masa kini tidak ditentukan oleh kepintaran atau kualitas kecerdasan seseorang. Namun "zaman now" lebih memperhatikan pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi orang banyak. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan istilah yang sangat sederhana seperti ini "semakin banyak pengikut, suaramu semakin didengar."

Hal itu menjadi konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang saat ini kita jalankan bersama saat ini. Contoh kongkritnya ketika ada pembahasan rancangan undang-undang maka yang memiliki hak suara untuk menentukan RUU itu menjadi UU adalah anggota DPR-RI, bukan seorang individu pemikir yang memiliki sederet gelar akademis. Begitu juga ketika melakukan audiensi dengan pejabat lokal ataupun nasional, kalau kita membawa suara organisasi pasti akan diperhatikan. Artinya suara pribadi efeknya tidak sama dengan suara yang mewakili orang banyak yang tergabung dalam organisasi.

Organisasi menjadi jalan bagi seseorang untuk memiliki nilai lebih berupa power. Kekuatan dalam bentuk "nilai tawar" ini yang disebut power. Power ini juga lebih dipengaruhi oleh jumlah pengikut organisasi dan kesolidan organisasi yang diikutinya.

Ada pesan tersirat dari cerita yang disampaikan oleh mantan Ketua Pemuda Pancasila dan Angkatan Muda Pembaharu Indonesia (AMPI) Kabupaten Magelang ini. Pesan tersebut lebih pada motivasi agar kami guru muda ini tidak melulu "memintarkan" diri sendiri. Namun juga harus mau berkontribusi dan terlibat langsung dalam sebuah organisasi.

Saya sepakat dengan pemikiran di atas. Istilah yang lain adalah agar orang pintar atau intelektual itu tidak hanya berdiri di atas menara gading. Akan tetapi terlibat dalam kerja sosial dan berkontribusi positif pada lingkungannya. Dan di masa ini organisasi adalah sistem sosial yang lebih mudah ditemukan daripada sistem sosial era sebelumnya yang lebih berbasis pada dasar kesukuan. Karena memang kini masyarakat lebih heterogen dan tidak lagi hidup di tengah suku yang sejenis.

Mlahar, Windusari, 15 April 2019

Comments

Baca Juga