Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Menyambung Rantai

Tulisan ini berkaitan dengan kebiasaan. Saya dalam rentetan kata selanjutnya akan membahas tentang rutinitas. Rutinitas atau kebiasaan sering kali dianggap sebagai penghambat kemajuan. Dimana kemajuan sulit diterima jika ada satu kebiasaan yang sudah mendarah daging.

Saya juga sempat “menghujat” sebuah kebiasaan yang saya bangun sedari dulu. Tepatnya, sejak tahun 2018. Saya kala itu memiliki obsesi untuk menulis. Tulisan tersebut kemudian saya posting di blog setiap harinya. Sayang seribu sayang, kebiasaan ini berhenti sekitar tahun 2021.

Sebenarnya di tahun 2021, saya tetap menulis di blog. Hanya saja, intensitasnya menurun. Kadang dalam seminggu saya hanya menulis dan memposting satu artikel saja. Ini jauh sekali kalau dibandingkan dengan dulu. Dimana saya dapat memposting satu artikel per hari.

Pengaruh Penulis Senior

Tersendatnya kebiasaan ini disebabkan karena terpengaruh dengan pemikiran beberapa penulis senior. Saya tidak perlu menyebut nama penulis-penulis itu. Yang pasti, saya membaca tulisannya pada tahun 2021 itu. Si penulis senior membahas tentang teori 10.000 jam.

Teori 10.000 jam sering juga disebut dengan teori keahlian. Teori keahlian menjelaskan bila ingin mahir dalam suatu bidang dibutuhkan waktu sekitar 10.000 jam. Estimasi jumlah waktu tersebut merupakan akumulasi dari tindakan yang sama dan dilakukan terus-menerus.

Teori ini kemudian mendapatkan pertentangan dari penulis senior tersebut. Sang penulis senior ini dalam tulisan yang sama menjelaskan kalau keahlian tidak serta merta dapat diraih hanya dengan “kebiasaan” saja. Predikat ahli tidak dapat diraih hanya dengan melakukan tindakan yang sama terus-menerus.

Sang penulis senior ini mengatakan bahwa untuk mencapai tingkat ahli dibutuhkan pula upaya perbaikan. Keahlian berasal dari kebiasaan yang selalu diperbaiki. Sang penulis senior ini kemudian menghujat pelatihan menulis yang hanya menyarankan tentang kebiasaan untuk selalu menulis, menulis dan menulis saja. Tanpa ada upaya perbaikan atau mencocokkan praktik menulis/hasil tulisannya dengan teori menulis yang sudah ada.

Jujur, saya terpengaruh dengan pendapat di atas. Hingga akhirnya saya malah kehilangan hasrat untuk menulis. Rasa takut lebih banyak hinggap dalam diri saya. Saya terjebak dalam dunia teoretik. Otak dan perasaan saya jatuh dalam teori-teori tentang menulis.

Saya sampai lupa, bahwa kalau ingin menghasilkan sebuah tulisan ya tinggal menulis saja. Saya terjebak pada keruwetan dan kerumitan berbagai macam teori. Hingga akhirnya lupa, kalau kita hanya perlu menggunakan satu teori dalam satu momentum.

Ibarat kata, teori itu seperti pisau. Kita hanya bisa menggunakan satu jenis pisau untuk menghasilkan bentuk tertentu. Tidak semua pisau dapat menghasilkan jenis potongan yang sama.

Teori juga seperti itu. Kita hanya perlu menerapkan satu teori baru kemudian berpindah ke teori lain. Tidak akan efektif kalau satu momentum menggunakan berbagai macam teori. Jadi, kita hanya perlu “trying and error”. Dimana satu teori bila hasilnya bagus dapat kemudian diteruskan. Ganti teori hanya jika hasil dari teori tersebut gagal. Sampai disini saya tersadar, upaya perbaikan kebiasaan menulis dengan berbagai teori malah menghambat saya untuk memposting blog setiap hari.

Gagasan tentang “ahli, kebiasaan dan perbaikan” ini kemudian saya peroleh kembali di buku “Atomic Habits”. Di buku karya James Clear memang dijelaskan tentang kebiasaan yang ditambah dengan upaya perbaikan akan menghasilkan peningkatan. Namun, di sisi yang lain, James Clear juga mencontohkan upaya untuk “menyambung rantai”.

James Clear menceritakan bahwa ada beberapa ahli yang secara sengaja melakukan satu tindakan berulang-ulang. Terus-menerus, selalu dilakukan. Uniknya tanpa memikirkan kualitas. Intinya ia hanya melakukan suatu tindakan semata.

Ini berbeda dengan adanya “tuntutan” perbaikan. James Clear menjelaskan bahwa menyambung rantai ini tetap diperlukan. Suatu tindakan yang dilakukan terus-menerus nantinya akan seperti rantai yang saling terkait. Lama-kelamaan akan menjadi panjang.

Saya kemudian berpikir. Rantai yang sudah panjang ini baru kemudian ditingkatkan kualitasnya. Analoginya, rantai ini dicat, dilas, dan lain sebagainya. Hanya saja memang hanya diperlukan satu hal untuk memperbaiki, yaitu adanya rantai itu sendiri. Kita perlu kebiasaan untuk memastikan keberadaan rantai yang akan diperbaiki.

Saya pun berkesimpulan kalau saya harus tetap menulis. Setiap hari tetap memposting tulisan di blog. Tujuannya untuk “menyambung rantai”. Syarat utama menjadi ahli memang kebiasaan. Baru kemudian perbaikan. Tapi, kalau saya sampai meninggalkan kebiasaan, lantas apa yang mau diperbaiki?

Jadi, teruslah menulis. Posting blog setiap harinya.


Rahma Huda Putranto

Semarang, 21 Juli 2022

Comments

Baca Juga