Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Kelolalah Marah dengan Bijak



“Tiga macam sifat asli yang ada pada diri manusia untuk penyempurnakan tabiat hewaniyahnya, yaitu: (1) Kecenderungan (2) Marah (3) Mementingkan diri sendiri.” (Hamka, 1984, hal 101)

Manusia dianugerahi berbagai macam sifat oleh Tuhan. Salah satunya adalah marah. Marah identik dengan berang dan gusar. Sehingga KBBI menjelaskan marah sebagai keadaan sangat tidak senang (krn dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dsb).
Seseorang marah karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dsb. Pada intinya kemarahan itu disebabkan oleh adanya masalah. Masalah diartikan sebagai kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Ketika kenyataan yang dihadapi manusia tidak sejalan dengan apa yang diharapkan, manusia memiliki kecenderungan untuk marah. Entah marah kepada diri sendiri atau orang lain.
Berdasarkan pendapat Prof. Dr. Hamka marah merupakan sifat yang manusiawi. Karena sifat marah dimiliki oleh semua manusia. Buktinya, semua orang pasti pernah merasakan marah. Baik dimarahi atau memarahi. Sehingga aristoteles berpendapat “Siapa pun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah”.
Sebagian orang berpendapat bahwa ketika kamu marah, maka obat yang paling tepat untuk menghilangkan rasa kesal karena marah adalah dengan cara melampiaskan kemarahannya. Manusia melampiaskan kemarahan dengan berbagai macam cara. Misalnya ada yang membanting apa yang ia pegang, menghancurkan apa yang ada di hadapannya, dsb. Namun di zaman yang serba modern ini, kemarahan seringkali dilampiaskan melalui status di berbagai media sosial. Tak jarang status facebook banyak berisi cemoohan dan hujatan yang isinya kata-kata yang kurang pantas untuk disampaikan kepada khalayak.
Daniel goleman dalam bukunya yang sangat populer: Emotional Intelligence, mengutip hasil riset Diane Tice, seorang ahli psikologi dari Case Western Research University, yang menemukan bahwa melampiaskan amarah merupakan satu cara terburuk untuk meredakannya (dalam Kompasiana).
Dijelaskan lebih lanjut bahwa ledakan marah biasanya memompa perangsangan otak emosional. Akibatnya, orang akan menjadi lebih marah dan kehilangan rasionalitas. Melampiaskan marah justru memperpanjang suasana marah. Sehingga dapat dikatakan kalau melampiaskan marah adalah tindakan yang tidak tepat.
Lantas bagaimana caranya mengahadapi marah? Daniel Goleman memberikan saran dengan cara menenangkan diri dan memaafkan. Karena memaafkan bukan berarti menunda kemarahan, namun memperbolehkan diri merasakan amarah. Merasakan marah tidak membuat sesorang menjadi lebih marah sehingga rasionalitas tidak menghilang.
Namun, ada cara yang lebih konstruktif dan terarah. Yaitu dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.  Nabi SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian marah ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, maka hendaklah ia berbaring.” (HR Ahmad). Kemudian dijelaskan marah adalah api setan yang dapat mengakibatkan mendidihnya darah dan terbakarnya urat syaraf. (Syekh Sayyid Nada dalam media.zoya.co.id) sehingga disarankan untuk wudhu atau mandi.
Mario Teguh pernah mengingatkan, “Setan membesarkan rasa marah di hati kita dan menambahi nikmat dalam pelampiasannya agar kita mengkasarkan kata-kata dan mengkejikan tindakan, sehingga rusak hubungan kita dengan keluarga dan sahabat.”
Kesimpulannya adalah marah merupakan sifat yang pernah dirasakan oleh semua manusia. Menghadapi marah dengan cara melampiaskannya adalah cara yang tidak tepat. Cara yang tepat adalah dengan menenangkan diri. Proses penenangan dan memaafkan ini dilakukan dengan cara mendudukkan (ketika marahnya saat berdiri) dan kalau belum reda dengan cara berbaring. Bisa juga dengan berwudhu atau mandi.
Mari kelola marah dengan cara yang tepat dan bijak. Karena imbalan yang diberikan bagi orang yang dapat mengendalikan amarahnya begitu istimewa. “Barang siapa yang dapat menahan amarahnya, sementara ia dapat meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan segenap makhluk. Setelah itu, Allah menyuruhnya memilih bidadari surga dan menikahkannya dengan siapa yang ia kehendaki.” (HR Ahmad).



Referensi: Hamka. 1984. Falsafah Hidup. Jakarta: Pustaka Panjimas
 

Comments

Baca Juga