Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Peran Guru Melawan Hoax



Guru yang mengabdi di akhir abad ke-20 mengajari siswa beberapa pilihan profesi yang ada di era itu. Tak sedikit guru menawarkan siswanya agar di kemudian hari berprofesi sebagai dokter, bidan, perawat, guru, pemadam kebakaran dan beberapa profesi yang lain seperti yang tertulis di buku teks pelajaran kala itu. Profesi-profesi inilah yang menjadi cita-cita siswa di akhir abad ke-20. Akhir abad ke-20 merupakan era dimana informasi masih sulit diperoleh karena terbatas jarak dan waktu.
Perkembangan teknologi dan informasi menyajikan era baru yang disebut sebagai era digital. Era digital ini ditandai dengan booming informasi yang membanjiri setiap sendi kehidupan. Informasi akan mudah diperoleh karena ditemukannya perangkat yang dapat menghubungkan seseorang ke dunia luar melalui jaringan internet. Era digital inilah yang mendorong adanya profesi baru yang tidak ada di era sebelumnya. Sehingga guru yang mengajar di akhir abad ke-20 tidak mengira bahwa anak didiknya saat ini berprofesi sebagai manajer sosial media, ahli SEO, penjual online, dan sejenisnya.
Menurut survey yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia menunjukkan bahwa 90,3 persen responden menyebut hoax adalah berita bohong yang disengaja. Sehingga disinyalir adanya sebuah profesi baru yang berkembang di era digital ini, yaitu menjadi pengelola berita hoax. Beberapa sumber menyebutkan pekerjaan yang bersinggungan dengan hoax ini menjanjikan pendapatan yang fantastis, dihitung dari adsense page per view dan page by click saja bisa mencapai 600 milyar per tahun, ini belum kalau si pengelola hoax tersebut mendapat pesanan dari pihak tertentu untuk melakukan provokasi, menjatuhkan lawan politik dengan cara mengeksploitasi berita bohong yang berkaitan dengannya. Bahkan hoax pun menyerang minuman serbuk. Hoax minuman serbuk berupa isu yang mengatakan bahwa minuman serbuk memiliki kandungan berbahaya, menyebabkan batuk dan pengerasan otak.
 
Setiap guru yang mengetahui mantan muridnya menjadi pengelola berita hoax pasti akan terkejut. Karena telah terbukti bahwa hoax yang biasa diartikan sebagai berita bohong, apabila disebar secara sistematis akan menimbulkan efek bola salju yang dapat meruntuhkan kerukunan manusia dalam bingkai berbangsa dan bernegara. Berita bohong ini dalam hitungan detik akan menjadi viral, karena dilihat jutaan orang, dibagikan oleh banyak orang dan kemudian diyakini menjadi berita yang mengandung kebenaran. Sungguh kondisi yang tak pernah dibayangkan oleh guru yang mengabdi di akhir abad ke-20. Hal ini bahkan masih sulit dibayangkan oleh sebagian besar guru yang saat ini masih aktif mendidik generasi muda.
Pemerintah sudah melakukan berbagai usaha untuk melawan hoax yang merajalela ini. Misalnya dengan melakukan pemblokiran situs-situs penyebar hoax, meluncurkan aplikasi pelaporan hoax, bahkan pemerintah melalui kepolisian memperkuat peran subdiksus cyber. Namun cara-cara ini dinilai hanya sekedar permukaan dan belum bisa menyelesaikan akar permasalahan. Hoax tidak bisa dicegah hanya dengan kegiatan seremonial, namun harus melalui tindakan yang terstruktur dan kultural yang memangkas akar akar penyebab berkembangnya hoax ini.
Hoax berkembang karena nalar kritis masyarakat kita masih rendah. Masyarakat masih mudah menerima informasi secara langsung dan mentah-mentah. Siti Badriyah (2017) menyebutkan bahwa orang akan langsung menerima informasi disebabkan oleh keterikatan identitasnya, baik identitas ras, suku, agama hingga afiliasi politik. Segala informasi yang membela identitasnya akan dipercaya sebagai kebenaran tanpa menimbang apakah informasi ini hoax atau bukan. Oleh karenanya, peningkatan nalar kritis masyarakat bisa dilakukan melalui jalur pendidikan. Sehingga guru memiiki posisi strategis untuk melawan hoax secara struktural dan kultural.
Peran Guru
Guru memiliki akses langsung kepada generasi pelajar yang sangat mahir memainkan gadget. Melalui gadget inilah kemampuan menggunakan jaringan internet terasah. Generasi ini biasa menggunakan internet hanya untuk sekedar memainkan game sampai menebar sensasi di media sosial. Generasi pelajar yang hampir selalu bersinggungan dengan internet ini juga bisa disebut dengan istilah “generasi layar”. Karena selalu berpindah dari satu layar ke layar yang lain. Mulai dari layar HP, berpindah ke layar komputer kemudian sampai ke layar TV.
Generasi layar inilah yang akan di hidup di masa depan. Suatu masa dimana pekerjaan menjadi pengelola berita hoax terbuka lebar dengan segala iming-iming pendapatan besarnya. Oleh karenanya guru yang mengajar di era ini harus melek informasi dan kemajuan teknologi. Sehingga tantangan perkembangan teknologi dan informasi dapat teratasi. Namun guru jangan mengatasi tantangan teknologi informasi ini dengan melarang siswanya menggunakan gadget atau jaringan internet. Karena upaya ini hanya akan membuat generasi muda gaptek dan gagal mengikuti kemajuan zaman.
Pada kesempatan inilah guru harus menyadari dan mampu membekali anak dengan pendidikan karater yang diimbangi dengan pendidikan literasi. Pendidikan karakter ini sebagai penguatan nilai keyakinan agar dikemudian hari siswa tidak melakukan tindakan yang merugikan sesama umat manusia, seperti menyebarkan berita hoax. Guru juga harus mau merevitalisasi pendidikan literasi. Pendidikan literasi merupakan pedoman untuk melatih nalar kritis generasi muda agar tidak mudah percaya dengan segala informasi yang membanjiri media saat ini. Generasi pelajar di kemudian hari diharapkan memiliki integritas moral dalam rangka menjaga kesatuan bangsa serta tidak mudah percaya dengan informasi yang tidak tentu kebenarannya.

*Artikel ini ditulis untuk lomba menulis artikel anti hoax

Comments

Baca Juga