Menjelang siang, terjadi diskusi kecil-kecilan antara saya dengan Bu Suci. Diskusi berkaitan dengan bagaimana caranya agar siswa menghormati gurunya. Terutama saat kegiatan belajar mengajar berlangsung.
Kebetulan juga ketika diskusi ada ibu Ninik, Kepala SDN Borobudur 1. Entah sengaja atau tidak. Nasihat yang beliau sampaikan sama dengan nasihat ketika saya curhat pada hari Sabtu yang lalu. Kala itu saya curhat tentang bagaimana caranya mengontrol keadaan kelas.
Bu Ninik memberikan nasihat bahwa kunci manajemen kelas terletak pada wibawa guru. Kewibawaan gurulah yang akan membuat siswa segan untuk berbuat menyimpang. Kewibawaan guru terbukti efektif dapat mencegah siswa berbuat "berlebihan" kepada gurunya.
Ekspresi Kemarahan
Bu Ninik juga bercerita bagaimana ia menenangkan siswa-siswa kelas 3 yang beberapa waktu yang lalu menangis histeris. Tangisan ini berawal ketika Bu Dian, wali kelas yang lama berpamitan untuk menjalankan tugas di SD yang baru. Ketika itu, siswa kelas 3 menangis dari jam 9 pagi sampai jam 11 siang. Bahkan ketika itu anak-anak sampai di bawa ke mushola.
Bu Ninik melihat tangisan itu merupakan sesuatu yang tidak wajar. Melihat kondisi yang semakin tidak terkendali, akhirnya Bu Ninik turun tangan. Bu Ninik masuk ke mushola dan menunjukkan ekspresi marah besar.
"Ada apa ini kalian menangis?" bentak bu Ninik. Tak ada seorang siswa pun yang menjawab. "Apa meneh iki, cah lanang kok nangis, ra ana rumuse!" Teriak Bu Ninik. Bu Ninik bercerita kepada kami kalau teriakan dan ekspresi kemarahan ini hanya tampak luar saja. Beliau ketika bercerita kepada kami mengatakan walau tampilan luar tampak marah besar namun dalam hati tertawa.
Cerita pun berlanjut. Ketika situasi di Mushola sudah berangsur terkendali, Bu Ninik mulai memberikan upaya penyadaran. Beliau mengatakan bahwa kepindahan Bu Dian untuk menjalankan tugas. Semua guru juga dapat memiliki nasib yang sama untuk dipindah. Bu Ninik juga bercerita bahwa ia telah beberapa kali pindah tempat kerja. Dan semuanya baik-baik saja. Pindah kerja bukan akhir segalanya, baik bagi guru maupun bagi siswanya. Tidak ada tangisan lagi. Akhirnya kondisi kembali seperti semula.
Menjaga Jarak
Bu Ninik juga berpesan agar menjaga jarak dengan siswa. Jaga jarak ini penting agar hubungan antara guru dan siswa tidak melebihi batas kewajaran. Jangan sampai batas kewajaran ini hilang. Karena ketika batas kewajaran ini hilang, hilang pula kewibawaan guru.
Terlalu dekat tanpa jarak antara guru dan siswa berpotensi pada keluarnya sifat manja. Sifat manja ini apabila berlebihan tidak baik. Karena akan melahirkan tuntutan-tuntutan di luar batas kewajaran.
Jadi, dalam menciptakan profil guru yang berwibawa, guru harus mampu menjaga jarak dengan siswa. Jarak yang tidak terlalu jauh. Namun juga tidak terlalu dekat. Bila dibutuhkan, guru harus mampu tampil garang. Sehingga sesekali harus marah. Namun ekspresi kemarahan ini harus ditampilkan di saat yang tepat, pada orang yang tepat, dan dengan kadar yang tepat.
Nasihat ini menjadi sarana refleksi bagi saya. Saya di awal-awal kemarin mengakui terlalu banyak mengobral senyuman. Bahkan ketika Jumat pagi saat menggiring anak-anak kelas 4B ke lapangan saya terlalu dekat. Kedekatan yang berlebihan ini terlihat dengan bagaimana saya merangkul mereka berjalan ke lapangan untuk senam pagi. Hal seperti ini harus dihindari. Agar anak tidak nglunjak.
Senin, 5 Maret 2018
Comments
Post a Comment