Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengaj...

Spiritualitas Ritual Mudik Lebaran

Setiap kali lebaran, berita dipenuhi dengan pembahasan tentang mudik. Media online maupun cetak menampilkan hiruk pikuk "ritual" mudik. Apalagi, ada yang mudik dengan sepeda motor. Dimana satu jok sepeda motor diduduki oleh seluruh anggota keluarganya. Mulai dari anak balita sampai barang bawaan yang menggunung.

Dari sekian banyak tampilan pemudik, saya melihat adanya sisi perjuangan. Sebelum mudik, mereka berjuang mencari bekal. Selama perjalanan, mereka menahan diri di tengah kemacetan. Bahkan bayangan beratnya arus balik harus mereka lawan.

Lantas, apa yang sebenarnya mereka cari? Apa yang membuat masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa melakukan ritual mudik setiap tahunnya? Apa yang sebenarnya mereka cari?

Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu sulit dijawab. Apalagi bagi orang-orang yang belum pernah mengalami peristiwa mudik. Butuh sebuah perjalanan mudik untuk memahami semua ini.

Saya setiap lebaran selalu mudik. Hanya saja, mudiknya tidak terlampau jauh. Asal-usul orang tua saya adalah Jogjakarta. Hanya sekitar 46 kilometer saya menapaki jalan untuk pulang. Saya katakan ini mudik. Walau tidak menemui panjangnya kemacetan atau melewati ratusan kilometer.

Saya kebetulan tahun ini merasakan perjalanan ratusan kilometer. Di saat puncaknya arus balik. Saya melakukan perjalanan ke barat menggunakan mobil. Tepatnya di suatu tempat yang ada di Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap.

Saya terjebak kemacetan dalam perjalanan ini. Setiap kali menemui perlintasan kereta api, pasti jalannya mengular panjang. Kejadian yang sama juga terjadi saat melewati jalanan yang kanan-kirinya pasar. Perjalanan juga melambat ketika bertemu dengan persimpangan jalan. Akhirnya, saya menempuh perjalanan ini selama delapan jam. Padahal biasanya, di luar musim mudik, perjalanan Magelang-Cilacap hanyalah lima jam.

Perjalanan ini yang memberikan sedikit pemahaman kepada saya, tentang apa itu mudik. Saya secara perlahan memahami makna dari ritual mudik. Kemacetan yang dialami saat mudik juga membuat saya tahu. Arti pentingnya ritual tahunan ini.

Ritual Mudik

Salah satunya, saya menemukan jawaban. Mengapa mereka rela mudik di tengah berjubelnya jutaan kendaraan yang mengakibatkan kemacetan? Saya rasa jawabannya adalah jangan-jangan, sebagian dari kita memang mencari kemacetan itu sendiri. Setiap tahun, kita sengaja menceburkan diri ke aliran yang membawa manusia menuju kampung halaman.

Di tengah kemacetan saat mudik, ada interaksi yang mungkin tidak diperoleh di hari-hari biasa. Setiap anggota keluarga dapat bercekengkrama di atas di atas kendaraan. Hubungan intens ini sulit terjadi ketika setiap anggota keluarga terjebak pada rutinitas pekerjaan.

Pekerjaan di kota-kota besar menuntut kecepatan, ketelitian yang menghabiskan waktu. Sangat terasa sulit ketika seseorang meluangkan waktu sehari-hari untuk bercengkrama dengan keluarga. Mereka berangkat shubuh, pulang tengah malam. Mereka berangkat saat anak-anaknya masih memejamkan mata. Pulang pun anak-anaknya telah tertidur.

Berbeda saat mudik. Di atas kendaraan kedekatan itu terjadi dengan sangat intens. Tidak ada yang bisa kabur dari pembicaraan di dalam mobil. Mau tidak mau, interaksi terjadi di tengah kemacetan. Inilah hikmah dari mudik di tengah kemacetan. Luar biasa.

Borobudur, 10 Mei 2022

Comments

Baca Juga