Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Mensyukuri, Mengingini Apa yang Dimiliki


Mengingini. Entah kata ini betul atau tidak. Saya hanya ingin mengungkapkan kata yang artinya mengambil ingin. Hal ini saya maknai dengan meng-ingin-i. 

Di sisi yang lain, mengingini akan lebih tepat kalau diganti dengan kata menginginkan. Hanya saja, dalam pengucapannya, saya lebih senang dengan kata mengingini. Unik, karena tidak banyak digunakan.

Mengingini ini saya awali dengan bayangan saya tentang otak manusia. Otak manusia mampu membuat gambaran, bayangan, dan visualisasi yang sangat lengkap. Otak memiliki potensi untuk menyimpan kenangan. Mengolah apa yang dilihat, dirasakan, dan didengar. Entah yang terjadi di masa lalu, kini dan nanti.

Otak memiliki kemampuan berkreativitas. Kreativitas disini artinya dapat membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Kreativitas bila diarahkan pada hal yang benar, akan berubah menjadi suatu inovasi. Modal inovasi adalah kreativitas.

Akan tetapi, kreativitas bisa juga menjebak manusia. Terutama ketika manusia mengarahkannya pada arah yang keliru. Yang jadi pikiran saya saat ini adalah, kapan arah itu dianggap keliru? ini yang belum saya ketahui.

Hanya saja, saya pernah mengalami kreativitas yang kurang positif. Terutama jika kelebihan "dosis". Kreativitas ini berupa aktivitas mengingini. Bila kelebihan dosis, namanya jadi terlalu mengingini.

Sungguh, terlalu mengingi itu tidak enak. Mengingini itu bagai menggenggam bayangan. Kita tidak dapat menyentuh bayangan. Apalagi meraihnya.

Saya lihat bayangan diri saya. Di balik pendar cahaya yang melewati tubuh, bayangan hitam itu memang sangat terlihat. Hitam legam. Namun, tak nyata.

Sebab, ketika saya coba menyentuhnya, tak dapat. Kukejar bayangan itu sambil berlari. Bayangan itu turut serta berlari.

Kupercepat tanganku meraihnya, tak  mampu juga. Tiada habis. Yang ada hanya lelah yang diperoleh. Sungguh, ini yang membuat saya termenung.

sumber foto: unsplash

Mengingini itu seperti mengejar bayangan. Tak sampai. Dan belum tentu nyata. Lantas apa yang nyata?

Yang nyata adalah pendar cahaya yang menciptakan bayang-bayang? Bukan. Sebab, cahaya seperti bayangan. Terlihat ada tapi tidak dapat direngkuh.

Sementara ini saya berkesimpulan, yang nyata adalah sumber cahaya itu. Cahaya itu dapat bersumber dari lampu, matahari, dsb. Sumber ini yang perlu kita identifikasi.

Sumber cahaya memang nyata. Dapat disentuh. Dapat diraba. Walau mungkin, sumber cahaya itu dapat melukai. Ada kalanya kita tidak perlu menyentuhnya. Cukup mengetahui saja sudah lumayan. Kesadaran ini membukakan mata.

Lantas, mengingini sumber cahaya itu seperti apa? Mengingini disini maksudnya ingin pada sesuatu yang nyata. Tidak hanya nyata. Akan lebih kokoh lagi kalau sesuatu yang nyata itu memang sudah benar-benar kita miliki.

Mengingini sesuatu yang telah dimiliki? Namanya bukan ingin dong. Ya, tidak dong. Mengingini sesuatu yang dimiliki dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Teman saya pernah bercerita. Ia menginginkan motor trail. Namun, hanya punya motor supra.

Ia bisa saja menjual motor supranya untuk membeli motor trail. Sayangnya, ia tidak memiliki cukup dana. Akhirnya, ia mencoba mengingi pada barang yang telah ia miliki, yaitu motor supra.

Motor supra itu ia modifikasi menjadi motor trail. Ia memang memiliki keterampilan di bidang otomotif. Ia memiliki beragam cara untuk mengubahnya menjadi motor trail. Dan terwujud.

Jadi, mengingini pada sesuatu yang kita miliki dapat diartikan dengan mensyukuri. Syukur terhadap apa yang sudah dimiliki. Yaitu, mengoptimalkan apa yang benar-benar ada di dalam genggaman kita. 

Mengingini apa yang ada lebih penting. Daripada mengingini yang tidak dimiliki. Toh selama ini, apa yang kita miliki belum tentu dapat dioptimalkan. Disiniliah mengingini sesuatu yang dimiliki mendapat tempat yang pantas.


Rahma Huda Putranto

Borobudur, 21 Mei 2022

Comments

Baca Juga