Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Alasan Sabda Pandhita Ratu Senantiasa Dibutuhkan


"Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali."

Kutipan di atas cukup menjadi pengantar cerita saya. Saya bersama teman-teman satu kelas mendapatkan perlakuan yang membuat situasi menjadi kurang nyaman. Cerita ini terjadi saat kegiatan Lokakarya 8 Pendidikan Guru Penggerak.

Perlakuan yang menimbulkan kekurangnyamanan ini terjadi karena adanya perubahan kesepakatan. Pada awal pertemuan ini, kami (dalam hal ini saya dan teman-teman CGP satu kelas) diajak untuk membuat kesepakatan. Muncullah kesepakatan berupa perubahan waktu istirahat. Kesepakatan ini menimbulkan pergeseran waktu terhadap agenda yang nantinya akan dijalani bersama.

Semua pihak setuju. CGP setuju. Begitu pula dengan "para pengampu". Mereka juga menyetujui usulan ini. Bahkan salah satu pengampu berargumen jikalau perubahan ini di akhir kegiatan nanti dapat digunakan untu sesi foto bersama.

Kegiatan berjalan sebagaimana kesepakatan. Hanya saja ada "usulan" perubahan di tengah jalan. Tepatnya, pada sekitar pukul 13.45 WIB. Tetiba saja ada "usulan" yang dipaksakan. Sesi ini perlu ditambah waktu. Salah satu pengampu mengingatkan kepada pengampu yang menyampaikan usul ini. "Kalau ini dilanjut, berarti mengubah susunan waktu." Pengampu ini menoleh ke seluruh rekan satu kelas, "bagaimana kalau ada usul seperti ini?"

Saya pun menimpali, "bukankah tadi sudah kesepakatan soal waktu?" Pertanyaan saya ini membuat situasi semakin tidak kondusif. Bahkan ada tindakan di luar kewajaran. Yang untung saja, tindakan ini dicegah oleh pak Suripto, salah satu CGP dari SMAN 1 Muntilan.

"Sudah, sudah, soal waktu kepulangan tidak perlu ditanyakan ke panitia. Saru." Pak Ripto berkata dengan penuh pertimbangan.

Saya memahami hal ini. Kalau kalimat pertanyaan di atas saya teruskan. Tentu akan terjadi perdebatan panjang. Saya pun memutuskan untuk tidak memberikan tanggapan lebih lanjut. Teman-teman sekelas pun mau tidak mau mengikuti "usulan" sepihak dari salah satu pengampu.

Beberapa berbisik kepada saya. Mereka menyanyangkan mengapa perubahan tiba-tiba perlu dilakukan. Padahal sudah ada kesepakatan tadi pagi. "Buat apa tadi pagi kita berembug tentang kesepakatan," kata salah seorang kawan yang berbisik menanggapi "usulan" yang dipaksakan ini.

Sabda Pandhita Ratu

Kejadian tidak mengenakkan ini membawa saya pada pemikiran yang terkandung dalam budaya Jawa. Ada ungkapan "sabda pandhita ratu tan kena wola-wali." Artinya, ucapan seorang pendeta dan raja tidak boleh berubah-ubah. Pendeta dan raja ini dapat dikiaskan dengan pemimpin secara umum.

Pemimpin tidak diperkenankan untuk mengubah pernyataannya sesuka hatinya. Apa yang sudah diucap itu hendaknya diwujudkan. Sabda pandhita ratu dalam buku yang berjudul sama karya Ir. Sujamto dijelaskan kalau artinya dalam Bahasa Indonesia kurang lebih diistilahkan dengan "bersatunya perkataan dan perbuatan".

Tindakan salah satu pendamping untuk mengusulkan kesepakatan baru di tengah kesepakatan yang sudah ada tentu tindakan yang membuat tidak nyaman. Kejadian ini malah menegaskan terjadi fenomena "esuk dele, sore tempe" alias mencla-mlence.

Kejadian ini memberikan hikmah kepada saya. Bahwa ternyata orang Jawa dulu membuat sebuah ungkapan untuk melindungi semua. Para pendahulu tahu bahwa ucapan seorang pemimpin akan menjadi contoh dan "diugemi" oleh pengikutnya.

Bagaimana jadinya kalau omongan pemimpin tidak dapat dipegang. Bawahan akan bingung. Muncul rasa tidak nyaman. Mau protes secara terbuka kok tidak "elok". Didiamkan kok bawahan menjadi korban penindasan.

Maka saya sangat menghargai sesepuh Jawa. Mereka membuat sebuah "etika Jawa" berupa Sabda Pandhita Ratu tan Kena Wola-Wali. Ungkapan ini menjadi semacam pengingat bagi pemimpin untuk berhati-hati dalam membuat pernyataan. Sebab, pernyataan dapat menimbulkan kegaduhan. Bahkan dapat menimbulkan sakit hati yang mendalam. Sungguh, kini kita rindu pemimpin-pemimpin yang "ngugemi" nilai "bawalaksana" seperti ini.

Comments

Baca Juga