Featured Post
- Get link
- Other Apps
Narasumber Kajian Ranting
Pendirian cabang dan rantai Muhammadiyah biasanya diawali dengan adanya pengajian. Pengajian dilakukan di salah satu rumah. Biasanya pun hanya diikuti oleh beberapa keluarga yang berdekatan. Di forum pengajian seperti ini, sang Mubaligh memperkenalkan apa itu Muhammadiyah.
Pengajian ini lantas berkembang. Muncul kebutuhan baru. Anggota pengajian membutuhkan tempat untuk beribadah. Berdirilah mushola/masjid yang menerapkan praktik peribadatan sesuai dengan paham keagamaan Muhammadiyah.
Jamaah pun bertambah. Mushola yang didirikan tidak hanya digunakan oleh orang-orang yang awalnya berkumpul. Masyarakat sekitar ikut beribadah dan beramal di Mushola ini. Terhitung ada lebih dari 15 orang jamaah. Kini, sang Mubaligh menawarkan kepada para jamaah. Apakah bersedia untuk mendirikan ranting Muhammadiyah. Semua bersepakat. Berdirilah ranting Muhammadiyah.
Kebutuhan warga ranting semakin kompleks. Akhirnya kelompok kecil ini mengupayakan berdirinya layanan kesehatan dan pendidikan. Ada balai kesehatan. Berdiri pula sebuah Tk dan sekolah dasar Muhammadiyah. Disusul berdiri SMP, SMA dan SMK di tahun-tahun selanjutnya.
Cerita di atas terasa mudah. Walau sebenarnya penuh pengorbanan. Tak jarang setiap anggota Muhammadiyah mendapat ancaman dari keluarganya sendiri. Praktik keagamaan Muhammadiyah terasa berbeda dengan apa yang selama ini diyakini dan diamalkan. Ternyata semakin ditekan malah semakin militan. Kelompok ranting ini semakin serius mengembangkan sebuah "tatanan sosial baru".
Praktik baik pengembangan cabang dan ranting bisa dibaca di salah satu buku yang disusun oleh Prof. Abdul Munir Mulkhan. Buku terbitan tahun 2010 ini berjudul Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan. Semua tertulis dengan rapi. Dapat ditiru oleh para kader penerus persyarikatan.
Tampaknya kini tidak seperti dulu. Saya beberapa kali mendengar adanya pertanyaan. Yang nada-nadanya lebih terkesan sebagai sebuah keluhan. Salah satu pegiat ranting Muhammadiyah bercerita. Ia kesulitan mengumpulkan jamaah Masjid Muhammadiyah dalam forum pertemuan Ranting Muhammadiyah. Jumlah yang berkumpul tidak sebanyak jamaah kajian. Memang, masjid di ranting ini menyelenggarakan kajian rutin mingguan. Jamaah yang datang banyak sekali. Seringkali membludak.
Ketika mendengar fenomena ini, ada yang menganggapnya sebagai kewajaran. Sebagian orang akan berkata bahwa jumlah kader bila dibandingkan dengan jumlah warga atau simpatisan Muhammadiyah, tentu lebih sedikit. Jadi, bisa diibaratkan bahwa orang-orang yang berkumpul memenuhi undangan ranting adalah orang-orang yang tergolong sebagai kader. Sedangkan yang ikut kajian masuk dalam kualifikasi warga/simpatisan Muhammadiyah.
Akan tetapi pertanyaan selanjutnya coba kita balik. Apakah mungkin warga/simpatisan yang mengikuti kajian rutin tersebut itu dapat dikonversi menjadi kader-kader ranting yang militan? Jumlah simpatisan untuk ranting Muhammadiyah tetap dibutuhkan. Sebanyak-banyaknya. Sebab, jumlah pegiat di ranting tidak melulu terbatas hanya tujuh orang. Jumlah ini bisa lebih dalam rangka memberikan dukungan kepada pimpinan ranting. Belum lagi ada manfaat berupa diaspora kader.
Saya belajar hal ini dari salah satu ranting unggulan di Kabupaten Magelang. Pimpinan Ranting Muhammadiyah Gunungpring menciptakan unsur pembantu pimpinan (UPP) tingkat ranting. Kalau tidak salah ada satu unsur yang bernama "dewan pendidikan". Tugas dewan ini mirip majelis dikdasmen. Bertanggung jawab dalam pengelolaan dan pengembangan amal usaha pendidikan di lingkungan ranting Muhammadiyah Gunungpring.
Kembali lagi ke pernyataan awal. Mengapa jumlah orang yang diundang untuk mengikuti kumpulan ranting itu lebih sedikit daripada yang kumpul untuk ikut kajian rutin? Padahal praktik baik para pendahulu, menjelaskan dari forum kajianlah ranting itu lahir. Disini kita dapat menginterpretasikan kalau aktivitas mengikuti kajian berbanding lurus dengan keterlibatan dalam aktivitas Ranting Muhammadiyah.
Coba sekarang bandingkan. Dulu ada pengajian. Sekarang juga ada. Apa yang menjadi pembeda antara pengajian "dulu" dengan "sekarang"? Dari segi intensitas waktu, saya rasa tidak ada perbedaan. Sama-sama dilaksanakan secara rutin.
Sekarang mau tidak mau kita perlu menelisik siapa yang menjadi narasumber kajian di masjid/mushola ranting tersebut. Praktik baik pengembangan ranting -seperti yang diceritakan di atas-, terletak pada sosok mubaligh. Dimana mubalighnya orang yang mau mengarahkan jamaahnya membentuk ikatan dalam ranting Muhammadiyah.
Saya pun menelisik lebih jauh. Profil "narasumber" kajian rutin di masjid Ranting Muhammadiyah ini seperti apa. Penyelenggara menyebut kalau narasumber kajian ini adalah orang yang menyampaikan ilmu agama apa adanya. Tidak berpihak pada pandangan tertentu. Bahasanya "netral". Dijelaskan pula kalau memang ia berlatar belakang atau memiliki pengalaman organisasi Islam. Disini terlihat kalau sang narasumber tidak atau belum pernah bergiat di Persyarikatan.
Tanpa perlu menjelaskan lebih jauh. Dapat kita tarik satu simpulan. Bahwa "narasumber" kajian berpengaruh besar terhadap keberlangsungan suatu Ranting Muhammadiyah. Narasumber atau seseorang yang duduk di depan sembari menjelaskan permasalahan agama merupakan sosok yang dipercaya. Ia akan menjadi "role modell" bagi jamaah. Narasumber lah yang memiliki pengaruh positif ketika ada upaya untuk menarik jamaah berkhitmad di ranting dan cabang Muhammadiyah.
Maka dari itu, perlu adanya penekanan dalam perkara ini. Kriteria utama bagi seseorang yang nantinya menjadi narasumber di forum kajian Muhammadiyah setidaknya orang yang pernah bergiat di Muhammadiyah, ortomnya atau amal usahanya. Harapannya, orang tersebut memiliki pemahaman dasar tentang apa itu Muhammadiyah. Semoga yang bersangkutan pun memiliki keberpihakan terhadap persyarikatan.
Sekali lagi, narasumber kajian bila memiliki dasar pengetahuan tentang kemuhammadiyahan atau memiliki pengalaman bermuhammadiyah tentu mampu mendorong jamaahnya untuk beraktivitas melakukan pengembangan cabang dan ranting. Sebaliknya, ketika pengajian cabang dan ranting itu diisi oleh orang yang tidak peduli terhadap persyarikatan Muhammadiyah hasilnya berbeda. Bisa-bisa perasaan jamaah terhadap Muhammadiyah telah luntur.
Maka di sini kita sebagai pelaku tempat giat persyaratan perlu benar-benar selektif terhadap siapa yang "memegang" mikrofon. Apakah seseorang tersebut memiliki keberpihakan terhadap Muhammadiyah. Jangan sampai kita memberikan tempat kepada orang-orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap Muhammadiyah. Bila hal ini terjadi, kita akan kesulitan dalam proses kaderisasi.
Padahal, pengajian merupakan sarana pendidikan paling efektif bagi calon kader persyarikatan. Forum kajian rutin seperti inilah para penerus persyarikatan bertemu. Saling mengenal dan bertukar pikiran. Hingga muncul kekompakan dalam diri setiap calon kader. Tentu kekompakan dalam kesediaan untuk bergiat di cabang dan ranting. Wallahu a'lam bissawab.
Rambeanak, 25 Maret 2023/3 Ramadhan 1444 H
Rahma Huda Putranto
- Get link
- Other Apps
Comments
Post a Comment