Featured Post
- Get link
- X
- Other Apps
Gerbong Kepemimpinan Muhammadiyah
Saya baru saja membaca tulisan yang bagus. Tulisan ini bertemakan besar “Barisan Kokoh Muhammadiyah”. Tentu pembaca sudah tahu. Kalau tulisan ini merupakan tema besar Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 14 Tahun ke-105 yang terbit pada 16-31 Juli 2020.
Dalam akhir paragraf tersebut, sang penulis menggambarkan kepemimpinan di Muhammadiyah layaknya kereta api. Bukan kereta api tanpa gerbong. Tapi kereta api yang memiliki banyak gerbong.
Sang penulis menjelaskan mengenai tiadanya resiko pada masinis yang menggerakkan kereta api tanpa gerbong. Ia bebas menjalankan kereta api ini. Tiada halangan untuk memacu kereta api. Asalkan masih di atas rel.
Berbeda dengan kereta api yang memiliki gerbong. Kereta api jenis ini perlu berhati-hati. Terutama dalam menjaga keselamatan dan kenyamanan penumpang. Sang masinis tidak dapat menjalankan kereta api ini sesukanya. Sebab, ada gerbong-gerbong berisi penumpang di belakangnya.
Sang penulis kemudian menyepadankan kereta api yang menarik gerbong ini seperti pimpinan di Muhammadiyah. Saya bersepakat dengan pendapat ini. Sebab, pimpinan Muhammadiyah tidaklah sendiri. Pimpinan Muhammadiyah memimpin kader, warga dan simpatisan Muhammadiyah.
Pimpinan di Muhammadiyah dalam berbagai tingkatan memiliki gerbongnya masing-masing. Katakanlah Pimpinan Daerah Muhammadiyah, pengurus tingkat kabupaten/kota ini memiliki gerbong di antara yang memuat majelis/lembaga tingkat daerah, organisasi otonom tingkat daerah, pimpinan cabang di masing-masing kecamatan, pimpinan ranting dan juga amal usaha Muhammadiyah.
Berdasarkan banyaknya “gerbong” yang berada di belakangnya, tentu menjadi pimpinan Muhammadiyah tidaklah mudah. Perlu disadari, banyak “nyawa” yang tergantung pada kualitas pimpinan tersebut. Tengoklah para bapak dan ibu guru yang mengabdi di berbagai Amal Usaha Pendidikan. Para pendidik dan tenaga kependidikan itu “menggantungkan” nasib di tangan pimpinan. Status guru tetap yayasan (GTY) tidak akan turun ketika tidak ada tanda tangan dari pimpinan Muhammadiyah.
Berat sih berat. Tapi bila karena “bayang-bayang” tanggung jawab ini mereka enggan menjadi pimpinan, sungguh, kereta api yang sudah terlanjur terisi gerbong ini bisa terperosok keluar jalur. Ibarat kereta yang melintas tidak di atas rel. Para penumpang berada dalam posisi bahaya. Keamanan dan kenyamanan mereka tidaklah terjamin.
Lantas saya berpendapat bahwa para senior-senior di Muhammadiyah perlu tampil ke permukaan. Memberanikan diri mengambil peran kepemimpinan. Tidak ada tanggung jawab yang ringan. Tapi selama berpegang teguh dan menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman, tentu akan jauh lebih mudah. Belum lagi adanya sistem kepemimpinan kolektif kolegial. Dimana kepemimpinan dijalankan secara bersama-sama.
Maka dari semua penjelasan di atas saya ingin menyampaikan bahwa sekiranya tepat bila kepemimpinan di Muhammadiyah diidentikkan dengan gerbong. Pimpinan di Muhammadiyah menarik gerbong yang berisi tanggung jawab. Baik berupa orang, lembaga amal usaha, hingga pelanggan amal usaha. Pelanggan ini dapat berupa murid di sekolah/pondok pesantren Muhammadiyah hingga pasien di amal usaha kesehatan.
Sampai disini pun jelas. Kepemimpinan di Muhammadiyah tidak boleh dijalankan dengan asal-asalan. Hendaknya ini menjadi tugas utama yang tidak disambi-sambi. Apalagi hanya dengan menyisihkan waktu sedapatnya. Kepemimpinan di Muhammadiyah tidak dapat \optimal jika dijalankan hanya menggunakan waktu sisa.
Borobudur, 20 April 2023
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment