Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Cara Habibie Menghadapi Kegalauan



Galau merupakan perasaan yang tidak enak. Mengapa? Karena ketika galau, rasa-rasanya dunia ini sudah tidak berarti apa-apa. Galau bikin rasa di hati tidak enak, serba salah, terkadang pusing, dan membuat hirupan napas ini terasa berat.

Menurut psikolog dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Frederick Dermawan Purba dalam okezone.com, sejatinya galau berawal ketika seseorang memiliki banyak pikiran. Selanjutnya diungkapkan juga bahwa galau merupakan tanda bahwa pikiran kita masih sehat. Kesehatan pikiran ini ditunjukkan dari kemampuan otak untuk berfikir. Galau merupakan produk pikiran, biasanya disebabkan karena apa yang dipikirkan tidak sama dengan apa yang dihadapi di dunia nyata. Sehingga kesimpulannya, galau identik dengan adanya masalah.

Galau bisa memojokkan kepribadian diri. Yang tadinya memiliki pribadi positif, tiba-tiba berubah menjadi negatif. Kenegatifan ini pun bisa menular dengan cepat karena didukung dengan adanya teknologi informasi yang berkembang dengan pesat. Contoh kongkritnya adalah ketika kegalauan itu diposting di media social dalam bentuk kicauan di twitter ataupun update-an status di facebook.

Salah satu sumber kegalauan yang harus diwaspadai adalah kegalauan karena ditinggal kekasih hati. Ditinggal ini bisa diartikan dengan menjalani hubungan jarak jauh, bisa juga cemburu, terancam diputus, ditinggal selingkuh, ditinggal pergi piknik dengan cowok/ cewek lain dsb. 

Kegalauan bisa dirasakan oleh semua orang. Bahkan, orang hebat sekaliber Burhanuddin Jusuf Habibie (BJH)  juga merasakan kegalauan yang luar biasa saat istrinya, Hasri Hainun Habibie (HAH) meninggal dunia. Kegalauan ini tampak bila kita membaca buku “Habibie & Ainun”. 

Ahmad Watik Pratiknya dalam kata pengantar buku tersebut mengungkapkan kepergian almarhumah HAH terebut menjadikan BJH tiba-tiba ‘terperangkap’ dalam samudera emosional yang amat bergejolak, yang sewaktu-waktu dapat ‘menghisap’ BJH ke pusaran yang amat deras dan ganas.

Pendapat tersebut menguatkan asumsi bahwa kegalauan menimbulkan efek yang luar biasa. Bahkan efek terburuk dari kegalauan adalah kematian. Lantas bagaimana BJH menghadapi rasa kegalauannya setelah ditinggal belahan jiwanya?

Prof. Dr. Mathay seorang dokter dari Hamburg beserta tim dokter BJH yang berasal dari Jerman dan Indonesia menasihati BJH agar terhindar dari “black hole”, yaitu suatu kondisi “psikosomatic malignan”, dimana gangguan emosional berdampingan negatif pada sistim organ vital manusia, sehingga menjadikan seseorang yang ditinggalkan pasangannya jatuh sakit yang progresif dan terminal, kemudian “menyusul” pasangannya menghadap Tuhan.

Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut bahwa ada tiga alternatif yang disarankan tim dokter untuk mencegah BJH jatuh pada hisapan black hole tersebut, yaitu: (1) melakukan “curhat” (menceritakan dan mendiskusikan perasaan dan permasalahan yang dialami) kepada sejumlah teman dan sahabat BJH maupun HAH, agar tekanan emosional BJH dapat release; (2) menjalani terapi psikiatris (dengan psikoterapi dan minum obat); dan (3) melakukan kegiatan yang melibatkan secara intensif pikiran maupun emosionalnya, yaitu dengan menulis.

Munculnya buku Habibie & Ainun merupakan bukti bahwa BJH memilih cara yang ketiga dalam menghadapi kegalauannya. Cara yang ketiga tidak melibatkan orang lain dan tidak memerlukan obat obat-obat psikotoprika. Keunggulannya adalah terapi diri (self healing) tersebut diharapkan dapat lebih mendalam, lebih permanen dan tidak bersifat simtomatis.

BJH melalui buku “Habibie & Ainun” telah memberikan contoh nyata kepada generasi muda Indonesia bagaimana cara menghadapi kegalauan dengan sebaik-baiknya. Banyak generasi muda Indonesia mengadapi kegalauan dengan minum minuman keras, mengkonsumsi narkoba, bahkan sampai bunuh diri. Padahal melalui kegiatan menulis seperti yang sudah dibuktikan oleh BJH dapat mengobati kegalauan dan menyehatkan hati, bahkan dapat memberikan tambahan finansial.



Rahma Huda Putranto. Sekretaris Umum PC IMM Kota Semarang. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang

Comments

Post a Comment

Baca Juga