Featured Post
- Get link
- Other Apps
Semedi Menuju Kebahagiaan
Saya tidak menyangka kalau berhasil "nyantri" di rumah selama 25 hari. Sebentar, saya rasa kaya "nyantri" kurang cocok. Saya tidak punya latar belakang sebagai seorang santri. Apalagi selama di rumah tidak ditemani "kyai" ataupun "gus".
Saya ganti istilah itu dengan tafakur. Sek-sek, kayaknya saya juga belum sampai ke derajat tafakur. Ya sudah, saya sedang bermeditasi selama 25 hari terakhir ini. Hmm, kata meditasi kok rasa-rasanya terlalu "british".
Ya sudah, saya pakai kata semedi saja. Kata semedi lebih aman. Kata ini lebih "umum". Apalagi saya dilahirkan dan dibesarkan di kalangan yang berlatar belakang Jawa.
Penulusuran kata semedi, meditasi, tafakur ataupun nyantri ini sebenarnya saya lakukan hanya untuk mengganti istilah "isolasi mandiri". Saya menghindari istilah isolasi mandiri (isoman).
Saya mendengar kata isoman membuat pikiran saya menjadi negatif. Saya mengganti istilah isoman agar semuanya berjalan lebih positif. Saya tidak mau rasa sakit ini semakin tidak terkendali hanya karena penggunaan istilah yang-bagi saya-tidak menenangkan hati.
Oleh sebab itu, saya pakai istilah semedi. Semedi disini bukan berarti saya melakukan ritual. Saya tidak melakukan aktivitas duduk bersila sambil memejamkan mata. Mulut saya juga tidak komat-kamit layaknya orang membaca mantra.
Saya menggunakan istilah semedi untuk mengganti istilah isoman bagi diri saya. Saya berharap istilah ini membuat saya lebih positif sesuai dengan maknanya. Semedi berakar kata pada kata Sam dan Adi. Sam artinya besar, sedangkan Adi artinya bagus atau indah. Lantas, saya selama 25 hari ini melakukan kontemplasi. Tujuannya untuk meraih budi yang besar, indah dan suci.
Pada puncak perenungan, saya mendapatkan salah satu kesimpulan. Kesimpulan tersebut membawa saya pada "obat" yang paling pas. Obat yang paling pas itu berada di dalam hati. Namanya adalah kebahagiaan.
Simpulan ini saya peroleh setelah semua hal yang berbau materiil saya coba. Saya coba minum susu beruang, minuman ekstra vitamin C, tablet multivitamin, dan lain sebagainya. Bahkan beberapa hal yang "bersliweran" di Whatsapp-pun diujicobakan pada diri saya. Hanya saja, saya merasa tidak membuat keadaanku semakin membaik. Pada fase ini pula saya pernah ditolak berobat di salah satu rumah sakit.
Belum lagi keadaan psikologis saya tidak stabil. Sebab, lingkaran terdekat di keluarga saya ikut-ikutan merasakan gejala yang sama. Semua mengalami demam, batuk, dan hilang selera makan.
Yang paling membuat saya "tergoncang" adalah ketika anak saya yang kedua menunjukkan gejala yang sama seperti saya. Saya tidak tega melihatnya. Anak yang belum genap berusia dua tahun harus mengalami demam hampir selama tujuh hari.
Berdasarkan keadaan itu, saya merasa putus harapan. Obat, suplemen, vitamin yang saya konsumsi tidak membawa perubahan apapun. Hingga akhirnya saya "pasrah". Saya tidak melakukan apapun. Saya hanya terbaring di atas tempat tidur.
Saya berpikir. Ada banyak pilihan yang bisa saya lakukan atas apa yang terjadi. Saya bisa pasrah dengan diam saja. Saya dapat marah dan jengkel terhadap diri sendiri mengapa keadaan ini terjadi. Saya pun bisa memutuskan untuk menerima situasi ini.
Ketiga pilihan itu memang bukan obat Covid-19. Mungkin sakit saya tidak hilang meskipun marah, jengkel, diam saja atau menerima ini semua. Akan tetapi, atas ketiga pilihan tersebut saya memilih. Saya memilih untuk menerima situasi ini.
Menerima situasi lebih baik daripada marah. Marah dengan menyesali keadaan hanya membuatku semakin "panas". Semakin membuat diri ini jatuh semakin dalam.
Pasrah tanpa melakukan apa-apa juga tidak membuat keadaan membaik. Saya tidak bisa memberikan tindakan yang tepat atas apa yang terjadi. Padahal pemahaman yang baik terhadap keadaan, akan memberikan banyak pilihan tepat yang dapat diambil.
Oleh karenanya saya memutuskan untuk menerima keadaan ini. Tak disangka, menerima keadaan membuat semuanya lebih baik. Penerimaan ini membawaku pada tingkat kepuasaan yang lebih tinggi. Kepuasaan ini membawa saya pada suatu titik kebahagiaan.
Penerimaan terhadap keadaan membuat bayangan yang ada di benak saya berubah. Saya tidak lagi membayangkan hal-hal di luar yang saya hadapi. Keinginan-keinginan saya menghilang. Keinginan yang muncul hanyalah apa yang saya sedang saya hadapi.
Tindakan ini membuktikan bahwa penyesuaian terhadap keadaan obyektif dengan keinginan subyektif sangatlah penting. Banyak kejadian/keadaan obyektif yang tidak bisa kita ubah. Sakit, cuaca, omongan orang adalah sedikit contoh keadaan yang tidak bisa diubah. Keadaan tersebut di luar kendali diri.
Lantas apa yang bisa dikendalikan? Hal yang bisa dikendalikan berada di sekitar diri ini. Pikiran, tanggapan dan respon menjadi hal yang bisa dikendalikan.
Setelahnya saya menyesuaikan harapan yang ada di benak saya. Saya menyesuaikan harapan dengan keadaan. Saya menerima keadaan ini. Saya menerima sakit ini.
Penerimaan ini membuat Tuhan memberi kenikmatan kepada saya. Ini yang tidak saya dapat ketika saya "melawan" keadaan. Perlawanan terhadap keadaan seolah menjadi perlawanan terhadap pilihan Tuhan. Ketika pilihan Tuhan "dilawan", Tuhan akan melawan manusia yang melawan-Nya. Tuhan akan menunjukkan kebesaran-Nya. Saat inilah manusia semakin kecil di hadapan keadaan.
Konsep penerimaan ini menjadi pintu menuju kebahagiaan. Saya membenarkan pendapat Yuval Noah Harari. Dalam bukunya Sapiens dituliskan bahwa kebahagiaan adalah korelasi antara keadaan obyektif dengan harapan subyektif. Maka betul, yang perlu dilakukan adalah dengan mengkondisikan harapan diri. Pengkondisian ini menciptakan korelasi yang selaras dengan keadaan.
Penciptaan korelasi ini setidaknya dapat dikerucutkan pada dua sikap. Saya meminjam istilah sabar dan syukur. Sabar mengkondisikan diri untuk menahan diri ketika menghadapi keadaan yang tidak sesuai keinginan. Adapun syukur digunakan untuk mengkondisikan diri saat keadaan nyata melebihi harapan yang ada di benak diri ini.
Pada akhirnya, lika-liku semedi ini membawaku pada sebuah Sabda Nabi berikut ini.
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Saya rasa semedi ini membawaku pada tercapainya makna semedi. Saya mendapatkan simpulan pemikiran yang besar nan indah. Bahwa syukur dan sabar dapat menjadi bekal menuju kebahagiaan.
Rahma Huda Putranto
Pelaku Semedi, eh isoman ding.
- Get link
- Other Apps
Comments
Iya bener kak. Ketika ada istilah yang justru bikin kita merasa ngga sreg baiknya emang kita ganti ya. Biar yang kita terima positif dan mental kita juga tetap terjaga. Semoga aja semua kembali sehat dan senantiasa terlindung dari hal buruk apapun itu ya kak.
ReplyDeleteKalau saya mengganti istilahnya jadi hibernasi. Biar ada kesan sedikit lucu.
Yes betul, istilah katanya memang mempengaruhi pikiran bawah sadar kita. Lantas kita harus bijak memilih istilah yang digunakan. Wah, boleh juga tuh istilah hibernasi. Toh memang saat isoman banyak tidurnya.
Delete:D
Semoga segera sehat ya kak. Semangat asal pikiran kita positif insyaallah diberi kemudahan dan kesembuhan
ReplyDeleteBebas sih mau pakai istilah apa. Yang penting tetap membawa pemikiran yang positif dan menikmati hidup. Hingga kebahagiaan mampu menjadi obat atas segala gundah. Pun termasuk penyakit. Semangat bersemedi. Semoga kita selalu sehat.
ReplyDeleteHalo kak salam kenal,
ReplyDeleteTerkait mengendalikan diri menurutku sih bukan hal yang mudah, apalagi urusannya sama cara berfikir atau perasaan. Memang harus "semedi" dan secepat kilat sebisa mungkin afirmasi positife ya. Itu sehat - sehat selalu ya, sehat jasmani dan rohani tentunya
Bener bangetttt, aku pun klo mendengar kata isoman bawaannya kepikiran bro. Jadinya akhir2 ini menghindari kata2 yg berkaitan dgn hal "tersebut" supaya tetap positif pikiranku ki hehhee
ReplyDeleteMenerima keadaan (baca: ikhlas) itu memang perlu proses ya kak. Ketika kita sudah ikhlas, rasanya plong banget. Tapi, untuk sampai ke tahap itu, gak bisa instan. Harus "bergulat" dengan perasaan2 negatif dulu. Saya pun awalnya sulit banget menerima adanya pandemi covid ini. Alhasil rasanya pengin marah. Tapi lama2 mikir, marah ke siapa? Apa gunanya marah? Ya wis, sekarang lebih ke selow aja. Kalau saya, dengan cara, mengurangi paparan informasi dan pemberitaan dari media sosial. Anyway, salam kenal kak.
ReplyDeleteSekitar bulan Maret lalu aku & keluarga juga sempat isoman, setelah bapak meninggal karena covid.
ReplyDeleteYah.. 2 tahun terakhir ini memang "" Spesial ""
Sehat2 selalu kita semua, semoga pandemi segera berakhir ya aamiiinn
Super hero yg sebenernya saat ini memang yg melakukan isoman di rumah ya. Dan itu berlaku ga hanya untuk yg sakit aja. Semangat!
ReplyDeleteSetuju banget. Lebih baik kita menggunakan kata-kata positif, daripada mengatakan isoman, kok kesannya jadi tambah horor gitu dan malah jadi menurunkan imun.
ReplyDeleteSalam kenal, Kak. Suamiku juga baru selesai semedi, dan saya juga jadi ikut semedi di rumah karena merasa tiap hari berkontak erat meskipun saya gak kena juga. Tiap hari saya bantu melayani kebutuhan suami dan membersihkan ruangan tempat semedinya. Jadi baik orang yang terpapar atau yang mengurusnya harus tetap punya pikiran yang bersih, tenang, dan positif supaya mentalnya juga kuat 😊
ReplyDeleteBenar-benar semakin banyak yang terkena covid. Memang kita harus menerima kenyataan, bepikir positif dan selalu memohon kesehatan kepada Tuhan. Ini semua menambah imun untuk bisa segera sembuh.
ReplyDeleteSemangat dan terus yakin bahwa kondisi dapat kembali kondusif. Semoga sehat-sehat terus kita semua dan tetap jalani prokes.
ReplyDeleteSabar dan syukur sudah "dipatenkan" sebagai resep kebahagiaan. Miliki dalam keadaan apapun, hasilnya akan baik. Buat yang sedang terguncang karena masalah kesehatan, teruslah berikhtiar. Ikhtiar material dan spiritual, jangan pernah menyerah. Semoga senantiasa sehat dan bisa melewati semuanya dengan baik.
ReplyDeleteYa Allah mas kamu isoman toh, semoga udh kebentuk nya ya auto imunnya, dan keluarga pun terhindar dari covid. Nah soal penerimaan dan kebahagiaan pun klo di panutan jawa juga ada ya mas nrimo ing pandum, bisa jadi sumber rasa syukur dan bahagia, engga yang ngoyo harus ini itu sampe stres sendiri
ReplyDeleteUdah paling bener pilihan yg diambil mas. Menerima dan bersabar. Aku dan suami kena covid pas Agustus THN lalu. Beruntungnya kami berdua OTG, tapi mama ga bertahan. Sempet takut, kuatir, sedih. Tp akhirnya kami toh cuma bisa Nerima. Percuma marah dan ga ikhlas. Terima aja ketentuan Nya, ikhtiar apa yg bisa diiktiarkan . Pada akhirnya hati juga LBH tenang, dan berefek ke imun tubuh
ReplyDeleteUntuk Kondisi seperti ini kita memang diwajibkan untuk menjaga diri. terlepas dari persoalan pro kontra covid 19 memang ya dari dulu kita harus menjaga kesehatan.
ReplyDelete