Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Peran Negara Lindungi dan Sejahterakan Guru

DALAM beberapa hari terakhir kalimat ”Ayo Hormati Guru” menyebar di berbagai laman media sosial. Ajakan tersebut diharapkan menjadi pemantik agar masyarakat kembali menempatkan guru pada tempat yang semestinya sekaligus menandai peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tiap tanggal 25 Novmber, seperti hari ini. 

Ajakan moral Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut perlu kita apresiasi mengingat saat ini penghormatan kepada guru semakin kendur. Sejumlah kasus murid atau orang tua memenjarakan guru menjadi cerminan kondisi tersebut. 

Guru dalam kondisi resah karena penghargaan dan perlindungan saat menjalankan tugas terkoyak. Guru sebagai sebuah profesi sebenarnya telah memiliki payung hukum yang tegas. Negara berkewajiban melindungi guru dalam melaksanakan tugas profesinya. Hal ini tertuang dalam Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 39 terkait perlindungan guru dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. 

Hanya patut disayangkan bahwa payung hukum tersebut rupanya belum mempan dalam melindungi guru dari pemenjaraan. Oleh karena itu, patut dipertanyakan, di mana dan bagaimana peran negara dalam melindungi guru? Namun demikian, kasus maraknya guru dipenjara diyakini tidak sekadar karena faktor tunggal hilangnya peran negara, tetapi juga karena perkembangan sosial-budaya masyarakat yang kian dinamis.
Oleh karena itu, membahas topik perlindungan guru harus dikaji secara komprehensif, mencari akar penyebabnya secara lebih mendalam untuk mencari solusi yang lebih akurat. Setidaknya, ada tiga akar masalah yang yang memicu pemenjaraan guru. 

Pertama, kendala yuridis. Guru sebagai sebuah profesi sebenarnya telah memiliki payung hukum yang tegas, negara berkewajiban melindungi guru dalam melaksanakan tugas profesinya. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 39 terkait pelindungan guru dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Hanya patut disayangkan bahwa payung hukum tersebut rupanya belum mempan dalam melindungi guru dari pemenjaraan. 

Dalam praktiknya, perangkat hukum tersebut seolah tidak berdaya di lapangan. Di hampir semua kasus kekerasan yang melibatkan guru dan peserta didik, jaksa menjerat guru dengan UU Perlindungan Anak (UU PA) dan KUHP. Dalam hal ini, guru seolah-olah disandera oleh UU PA. Sikap polisi yang merujuk pada UU PA dan KUHP memang menimbulkan polemik dan multitafsir. 

Kendala Pedagogis
Kedua, kendala pedagogis. Selain terkendala masalah keadilan hukum yang belum tegak, praktik kekerasan yang melibatkan guru dan siswa juga tidak lepas dari kendala pedagogis dan kultural. Jamal (2013) menyebutkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh guru amat terkait dengan kompetensi guru dalam mengelola kelas yang rendah. 

Temuan ini juga sejalan dengan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015, nilai rata-rata kompetensi bidang pedagogik guru secara nasional, yakni 48,94 jauh di bawah Standar Kompetensi Minimal (SKM), yaitu 55. Hal inilah yang ditengarai turut andil dalam menyebabkan meningkatnya tingkat kekerasan di sekolah. Guru dianggap kurang terampil dalam mengelola kelas dan otoritarian. Ketiga, kendala kultural.
Kendala kultural terkait dengan dinamika masyarakat yang berubah dalam memersepsikan guru yang berakibat turunnya tingkat derajat penghargaan terhadap guru. Darmaningtyas (2016) menyebut problem sosiologis, yaitu perubahan relasi sosial dalam masyarakat yang tidak lagi menjadikan guru sebagai sumber rujukan ilmu pengetahuan, informasi, keteladanan, ataupun inspirasi. 

Guru sekarang dianggap sebagai sekadar pekerja dalam suatu industri sekolah. Suparlan (2010: 23) menggarisbawahi bahwa hubungan antara guru dan orang tua di era modern lebih dilihat dari aspek untung rugi. Orang tua mau membayar guru untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, yakni mengajar anak-anaknya, baik di sekolah maupun guru datang ke rumah. 

Dalam konteks ini, tampak jelas bahwa guru lebih dipandang menjadi subordinasi dari orang tua dan masyarakat. Guru dianggap sebagai ìorang gajiî, yang harus mengikuti apa yang dikehendaki oleh orang tua dan masyarakat yang memandang dirinya sebagai majikan. Oleh karena itu, perhargaan dan perlindungan terhadap guru dalam kehidupan masyarakat yang serbamaterialistis cenderung semakin lemah.
Hal penting yang perlu dicatat bahwa guru sebagai sebuah profesi memiliki tanggung jawab yang besar. Ia memiliki tugas dan wewenang istimewa, yakni mendidik, membimbing, mengajar, dan melatih. Sudah sepantasnya jika negara menjamin hak dan kewajiban guru dengan lebih adil. (47) 

Mardiyanto MPd, guru SMP 2 Sukoharjo Wonosobo

25 November 2016 0:18 WIB Category: SmCetak, Wacana

Comments

Baca Juga