Apa anda pernah mendengar bahwa ada orang yang rela mati demi sebuah ideologi? Sadar atau tidak, saya yakin anda pasti pernah mendengarnya. Walau tidak sepenuhnya menyadari kalau hal itu merupakan bentuk-bentuk pengorbanan terhadap sebuah ideologi.
Saya sekali lagi mengatakan kalau tidak perlu menyebut nama. Sejarah telah menceritakan kepada kita. Kalau ada orang yang rela mati karena "ideologi" berbeda. Orang tersebut mempertahankan ideologi alias keyakinannya bahwa matahari adalah pusat dari tata surya. Ia mempertahankan ideologi itu di tengah masyarakat dan otoritas yang menganggap bahwa bumi lah yang menjadi pusat tata surya.
Sejarah bangsa-bangsa juga membuktikan bahwa para pejuang bangsa banyak yang rela mati demi sebuah ideologi. Ideologi tersebut berupa keyakinan untuk menjadikan bangsanya merdeka. Bangsa merdeka yang bebas menentukan nasibnya sendiri. Terbebas dari kekangan imperialisme.
Setelah sebuah bangsa merdeka, perjuangan ideologi terjadi di ruang-ruang parlemen. Sistem pemerintahan yang saat ini banyak dianut negara di dunia mengharuskan setiap aturan di buat di parlemen. Melalui proses pembuatan aturan inilah nilai-nilai ideologi diselipkan.
Selain perjuangan di ruang parlemen, ada juga perjuangan ideologi di luar parlemen. Sistem demokrasi memperbolehkan seseorang menyampaikan aspirasi di muka umum. Maka timbullah gerakan ideologi non-parlementer. Mereka menyampaikan dan berusaha mewujudkan ideologinya dengan cara turun ke jalan.
Perjuangan ideologi di jalanan tak jarang menciptakan pengorbanan jiwa dan raga. Ada yang meregang nyawa karena benda tumpul atau peluru nyasar. Selain itu ada juga yang babak belur terkapar di jalanan. Belum lagi ada yang tertangkap dan harus mendekap di penjara.
Uniknya, dalam kacamata perjuangan ideologi, perjuangan dan pengorbanan ini menjadi inspirasi bagi generasi penerus perjuangan. Peribahasa "mati satu tumbuh seribu" benar-benar menemukan maknanya pada fenomena ini. Setiap korban dan pengorbanan menjadi bahan bakar sebuah ideologi.
Ideologi memang mirip dengan filsafat. Ideologi dan filsafat sama-sama berpijak pada suatu konsep yang abstrak. Ideologi dan filsafat juga sering menjadikan fakta-fakta sebagai batu loncatan.
Perbedaan yang paling nyata antara ideologi dan filsafat ada pada tataran kenyataan. Ideologi menuntut aksi. Sedang filsafat tidak. Filsafat seringkali hanya berhenti pada aktifitas merenung. Lain halnya dengan ideologi, ideologi harus diwujudkan dalam bentuk aksi. Aksi tersebut berupa kegiatan-kegiatan sebagai sarana mewujudkan tujuan ideal ideologinya.
Kegiatan-kegiatan untuk mewujudkan ideologi perlu digerakkan oleh pelaku-pelaku ideologis. Pelaku-pelaku ideologis membutuhkan simbol-simbol identitas. Simbol-simbol ini menjadi "pemersatu." Simbol ini menjadi penanda identitas bagi setiap pelaku ideologi.
Simbol ini sering dimanfaatkan oleh para tukang doktrin untuk membakar semangat para pengikut ideologi. Karena pada dasarnya manusia merupakan homo symbolicum. Makanya, manusia sering dikenal sebagai makhluk penyuka simbol-simbol.
Simbol ini menjadi wujud kongkrit dari sebuah ideologi. Sehingga pemakaian simbol sangatlah sensitif. Coba saja anda pakai kaos dengan gambar palu arit ke markas militer Indonesia. Sudah pasti anda akan tahu apa yang selanjutnya terjadi.
Jadi tahu kan, perjuangan ideologi dan simbol-simbol itu tidak dapat digunakan sembarangan?
Comments
Post a Comment