Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Dua Kali Ditolong Rumah Sakit Aisyiyah Muntilan Saat Menderita Covid-19

MEDIA di Indonesia akhir-akhir ini banyak memberitakan peristiwa yang mengerikan. Berbagai peristiwa tersebut masih berkaitan dengan pandemi Covid-19. Terutama peristiwa yang diakibatkan oleh melonjaknya penderita Covid-19.

Peristiwa Instalasi Gawat Darurat (IGD) di berbagai rumah sakit penuh menghiasi media. Ada juga pemberitaan tentang antrian ambulans yang begitu panjang. Ambulans tersebut menanti giliran untuk masuk ke area rumah sakit. Akibatnya tidak sedikiti pasien yang ditolak dan diminta untuk pulang karena rumah sakit penuh.

Penolakan terhadap pasien juga pernah saya alami. Saya ditolak oleh salah satu rumah sakit pemerintah. Rumah sakit yang menjadi rujukan covid di tempat saya tinggal ini menolak saya. Tenaga medis di rumah sakit ini tidak mau memeriksa saya.

Penolakan ini benar-benar membuat saya "shocked". Padahal kondisi saya saat itu sudah mengalami demam tinggi selama hampir satu minggu. Akan tetapi karena suatu hal, saya ditolak oleh pihak rumah sakit.

Sebagai penderita Covid-19, saya tidak boleh menyerah. Saya pulang dari rumah sakit tersebut sembari menahan sakit. Sesampainya di rumah, kondisi badan masih terkendali.

Hanya saja, terjadi demam tinggi di malam hari. Demam ini mengantarkan saya menuju ke IGD Rumah Sakit Aisyiyah Muntilan (RSAM) tepat sekitar pukul 23.30 WIB . Sesampainya disana, saya ceritakan apa yang saya alami.

Tenaga medis di IGD RSAM dapat memahami penjelasan saya. Dokter jaga kemudian meminta izin kepada saya untuk melakukan pemeriksaan darah. Darah saya diambil untuk diperiksa di laboratorium. Hasilnya, saya mendapatkan diagnosa yang tepat.

Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan kalau masih dimungkinkan untuk rawat jalan. Saya pulang. Saya puas dengan pelayanan yang ada di RSAM. Tenaga medis mau mendengar keluhan saya. Saya paling senang karena tenaga medis juga mau memeriksa dan memberikan tindakan kepada saya.

Mereka pun dapat memahami dan mengerti betapa butuhnya sentuhan medis bagi penderita Covid seperti saya. Sakit saya berangsur membaik beberapa hari kemudian. Hanya saja, keadaan berubah selang tiga hari kemudian. Anak saya yang kedua jatuh sakit.

Pertolongan RSAM Yang Kedua

Anak saya jatuh sakit. Demam tinggi. Saya tidak bisa memastikan apa anak saya ini tertular Covid-19. Kepastian ini tidak bisa saya dapatkan karena tidak ada bukti. Bukti yang paling valid terkena covid atau tidak ya hanya satu, dengan melakukan rapid test PCR. Namun anak saya tidak di-swab.

Saya merasa kasihan kalau hidung dan tenggorokan anak saya harus dimasuki alat untuk swab. Istri saya memberikan beberapa treatment kepada anak saya. Istri saya memiliki latar belakang pendidikan kesehatan. Ia lulusan D-IV Kebidanan.

Demam anak saya tidak mereda sampai hari yang keempat. Kondisi kami sedang isolasi mandiri. Isolasi mandiri harus dilakukan karena saya dan istri positif Covid-19. Situasi isolasi mandiri ini membuat tindakan kami selanjutnya harus penuh kehati-hatian.

Istri saya menghubungi bidan desa untuk meminta izin memeriksakan anak kami ke rumah sakit. Bidan desa yang selama ini memantau isolasi mandiri memberikan izin untuk ke rumah sakit. Saya pun menghubungi beberapa rumah sakit.

Rumah sakit yang pertama kali kami hubungi menolak memeriksa. Penolakan ini saya peroleh saat saya menelpon rumah sakit tersebut. Alasannya, ruang isolasi di rumah sakit tersebut penuh.

Saya tidak menyerah. Saya hubungi melalui sambungan telepon Rumah Sakit Aisyiyah Muntilan. Dokter di IGD memberikan jawaban bahwa mereka siap memeriksa anak saya. Meskipun situasinya kami sedang isolasi mandiri.

Saya bersama istri membawa anak saya ke rumah sakit milik persyarikatan Muhammadiyah ini. Anak kami diperiksa sesuai protokol kesehatan. Cek darah pun dilakukan. Memang ada beberapa komponen darah yang nilainya di bawah standar. Akan tetapi dokter IGD menjelaskan bahwa masih memungkinkan untuk rawat jalan.

Dokter laki-laki ini masih muda. Kulitnya berwarna sawo matang. Ia sangat sabar menjelaskan kondisi anak kepada kami. Ia juga memberikan rambu-rambu kapan anak harus dibawa ke rumah sakit. Terutama tanda-tanda ketika kegawatdaruratan terjadi. Pertanyaan dari istri saya pun dijawab dengan sangat ramah.

Jawaban yang paling bijaksana adalah sang dokter sepakat dengan pendapat kami untuk tidak dilakukan swab ke anak saya. Khawatirnya swab akan mempengaruhi keadaan psikologis anak. Anak bisa saja trauma/stres karena "disogok" hidung dan mulutnya.

Selanjutnya sang dokter juga memberikan pesan dan meminta kami untuk menyepakatinya. Bila dalam dua hari ke depan anak masih sakit, tolong bawa anak ke laboratorium terdekat. Lakukan swab dan pilih layanan Swab PCR yang one day service. Harapannya hasil swab dan level CT-nya bisa langsung diketahui. Saya dan istri sepakat dengan "advice" ini.

Kami pulang dengan melakukan perawatan kepada anak sembari isolasi mandiri. Kami terapkan saran dari dokter tersebut. Alhamdulillah, selang tiga hari kondisi anak membaik. Tidak terjadi tanda-tanda kegawatdaruratan. Tidak muncul juga gejala-gejala Covid-19 yang parah.

Terima Kasih KH Ahmad Dahlan

Saya bersyukur dapat menikmati gagasan besar KH Ahmad Dahlan ini. Saya dalam waktu yang hampir bersamaan telah dua kali "diselamatkan" oleh Rumah Sakit Aisyiyah Muntilan. Saya pun bersyukur karena pendiri Muhammadiyah sejak awal telah "concern" pada gerakan kesehatan. Gerakan Kesehatan di Muhammadiyah-setahu saya-digagas oleh Muhammad Sudjak. Coba bayangkan, betapa luar biasanya KH Ahmad Dahlan yang menyetujui usulan Muhammad Sudjak.

Muhammad Sudjak merupakan murid dari KH Ahmad Dahlan. Dalam hal ini terlihat luar biasa karena K.H. Ahmad Dahlan mau mendengar pendapat muridnya. Waktu itu, di awal berdirinya Muhammadiyah, Muhammad Sudjak mengusulkan adanya gerakan kesehatan untuk kaum mustadhafin. Gerakan ini bernama Penolong Kesengsaraan Umum (PKU). Gerakan ini yang menjadi embrio hingga kini Muhamadiyah memiliki ratusan rumah sakit dan klinik pengobatan.

Terima kasih, Ya Allah. Kau menyelamatkanku melalui jalan Muhammadiyah. Ke Muhammadiyah kita kembali.


Rahma Huda Putranto

Anak manusia yang lahir di BKIA Aisyiyah Muntilan yang kini bernama RSAM Muntilan



Comments

  1. Wahhh pengalaman yang tak akan terlupakan ya kak, semoga kita sehat semuanya aamiin

    ReplyDelete
  2. Semoga sudah sehat dan pilih lagi ya, Mas. Kasihan juga kalau membayangkan anak-anak harus dicolok hidungnya, wong saya aja gak berani dites swab dan PCR gitu. 😥

    ReplyDelete
  3. Hallo Mas Huda,
    wahh pasti sangat berat yaa berada di situasi seperti itu. Apalagi kalau anak masih kecil. Saya aja gak bisa membayangkan bagaimana kalau saya di SWAB. Ngeri, huhu apalagi kalau anak kecil yaa, kasihan sekali. Kita yang lihat malah gak tega banget.

    Semoga sekarang sudah sehat selalu ya mas dan keluarga. Stay safe~

    ReplyDelete
  4. wah itu rasanya emang deg-deg an luar biasa ya, pasca terkonfirmasi covid, anak pun sakit, alhamdulillah udh sehat semua ya anggota keluarga. Punya istri yang berlatar belakang kebidanan juga bermanfaat sekali ya, kaya skill kesehatan darurat tuh siap siaga di rumah

    ReplyDelete
  5. Kalau anak sakit, demam, di musim pandemi gini memang rasanya makin was-was dan tidak karuan. Kalau anak sampai diswab kasihan, ya. Saya yang sudah ngalamin nih, diantigen aja, rasanya gimana gitu, hidung dimasukin cutton bud sampai ujung.

    ReplyDelete
  6. alhamdulillah sudah sembuh dan melewatinya ya. apalagi bisa menuliskan kisahnya sekeluarga di artikel ini, semoga kita selalu dilindungi oleh Allah

    ReplyDelete
  7. Tetap sehat terus mas dan keluarga. Sekarang kondisi yang dialami di atas banyak kita temui di berbagai daerah. sekarang emang harus jaga prokes bgt.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah ikut lega bacanya. Semoga kita semua diberi kesehatan dan bagi yang sakit diberi kemudahan dalam mendapatkan pertolongan medis. Aamiin.

    ReplyDelete
  9. Wahh luar biasa rasanya kalau anaky udah sakit ya mas, semoga rumah sakit selalu memberikan pelayanan terbaiknya ya mas dan tetap sehat selalu, aamiin

    ReplyDelete
  10. Dapat penolakan ketika lagi sakit itu memang bikin makin down ya. Dulu aku pernah sih begitu tapi bukan karena covid, pandemi juga belum ada. Tapi ditolak karena pakai BPJS. Haha... Akhirnya aku kapok nggak mau ke RS itu lagi.

    Semoga keluarganya sehat selalu ya. Alhamdulilah masih ada rumah sakit RSAM yang berkenan membantu.

    ReplyDelete
  11. Sungguh pekerjaan yang mulia ya seluruh nakes itu. Apalagi di masa pandemi seperti ini.. Semoga mereka selalu diberikan kesehatan dan rezeki yang cukup. Amin..

    ReplyDelete
  12. Semoga sehat selalu ya.. jangan lupa tetap jaga kesehatan, dan patuhi protokol kesehatan :)

    ReplyDelete
  13. Menjaga kesehatan memang sangat penting dikala pandemi seperti ini. Demi menjaga keluarga dan orang yang kita cintai. Kita harus memperketat diri

    ReplyDelete
  14. memang di masa pandemi ini rumah sakit jadi semakin penuh ya. semoga aja pandemi ini cepat berakhir dan kita semua bisa bebas dari virus corona yang mematikan

    ReplyDelete

Post a Comment

Baca Juga