Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Berani Berbeda, Inspirasi dari Wanto Tirta dan Saroni Asikin


Beberapa hari ini saya mendapatkan alasan untuk “berani”. Selama ini saya punya kendala untuk menceritakan ide-ide secara langsung. Jika sedang ngobrol dengan orang, saya sering “cari aman”. Saya jarang membahas persoalan-persoalan atau tema pembicaraan yang “out of the box”. Berbeda dengan orang-orang yang saya temui disini. Mereka dengan nyaman dan tenangnya membahas berbagai macam ide. Bahkan ide-ide yang berbeda dengan pendapat orang banyak.

Cerita Malin Kundang pun bisa digunakan dengan nyaman. Walau ide ceritanya berbeda dengan pemahaman orang pada umumnya. Selama ini diceritakan kalau Ibu Malin Kundang yang mengutuk anaknya menjadi batu.

Alur ceritanya diungkapkan oleh orang-orang disini bisa berbeda. Akhir ceritanya pun menjadi berbeda. Orang-orang disini menceritakan kalau Ibu Malin Kundang tidak menghardiknya menjadi batu. Tapi ibu Malin Kundang dibuat dialog yang berisi doa-doa kebaikan untuk Malin Kundang.

Bisa ditebak. Akhir cerita versi teman-teman disini bukanlah patung batu. Bukan Malin Kundang yang berubah menjadi batu karang. Ia masih sehat walafiat. Cerita ini pun diakhiri dengan “kurang ajar”. Malin Kundang malah semakin sukses setelah didoakan oleh ibunya ini.

Orang yang menceritakan kisah dengan alur seperti ini namanya Wanto Tirta. Ia mengarang cerita ini sudah puluhan tahun lalu. Bahkan dipentaskan dalam bentuk teater. Tidak tanggung-tanggung, yang menonton adalah pejabat yang berkunjung di daerahnya.

Sebenarnya tidak hanya Wanto Tirta saja yang menceritakan alur cerita yang “berbeda” seperti ini. Ada teman-teman yang lain. Saya sebenarnya terlalu kurang ajar kalau memanggil beliau-beliau ini dengan sebutan “teman-teman”. Padahal para pelaku sastra ini berdiri di depan dan membagikan apapun yang terlintas di pikiran mereka. Saya seharusnya menyebut mereka dengan narasumber.

Tapi situasi memaksa saya untuk menyebutnya dengan panggilan “teman”. Mereka berada di depan panggung kelas kami tidak seperti narasumber pada umumnya. Biasanya narasumber hanya mengungkapkan teori. Menjelaskan hal-hal yang sudah “disepakati”.

Teman-teman ini berdiri di depan dengan gaya bercerita. Tidak ada pendengar yang mengantuk. Cerita disampaikan dengan ekspresif. Alurnya pun jelas, runtut. Meskipun isi alurnya berbeda dengan pemahaman orang banyak.

Saya bertanya-tanya, dari mana teman-teman ini mendapatkan kepercayaan diri? Mereka dapat menyampaikan hal di luar “pakem” dengan begitu santainya. Tidak terlintas kekhawatiran kalau nantinya bakal diprotes oleh masyarakat luas.

Pertanyaan tentang kepercayaan diri sempat saya lontarkan kepada salah satu teman (baca: narasumber) lain, namanya Saroni Asikin. Ia membawakan materi tentang penggalian ide. Pantas bagi penulis cum wartawan seperti beliau.

Pertanyaan dari saya tidak terjawab secara gamblang. Bahkan beliau menjawab dengan kelakar. “Saya bukan motivator,” begitu katanya. Saya pun mencoba untuk mencari jawaban dari apa yang diungkap olehnya. Ditambah dengan gerak-gerik “teman-teman” (baca: pegiat literasi) lainnya.

Ternyata keberanian “berbeda” ini tidak serta merta modal nekat. Mereka membuat alur ide yang berbeda pasti dengan disertai adanya alasan-alasan. Alasan-alasannya sangat rasional. Bahkan tidak terbantahkan.

Misal kembali ke cerita Malin Kundang di atas. Ibu Malin Kundang berdoa dengan alasan bahwa tidak ada satupun ibu di dunia ini yang tega mengutuk anaknya. Ibu pasti menyayangi anaknya. Apapun yang dilakukan oleh anak terhadapnya pasti dibalas dengan “air susu”.

Sampai disini saya belajar. Kita perlu berpikir out of the box. Tidak boleh langsung percaya. Perlu mengedepankan sikap kritis. Selalu mempertanyakan hal-hal yang sudah dianggap biasa. Disinilah akan muncul kreativitas. Imajinasi pun timbul. Begitu pula ketika mau mengungkapkannya. Beranilah. Karena idemu yang berbeda ini di konstruksi dengan kerangka berpikir yang logis.


Di depan Gedung Bujanaloka, 21 Mei 2023

Comments

Baca Juga