Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Memenangkan Perubahan

"Arah angin berubah lagi."

Semua yang mengamati perubahan pasti memahami ungkapan tersebut. Apalagi bulan ini cukup istimewa. Hanya dalam kurun waktu satu bulan, terjadi dua kali perubahan besar.

Saya tidak akan membahas lebih lanjut tentang dua kali perubahan dan dampaknya. Saya ingin memberikan tanggapan soal perubahan secara umum.

Perubahan terjadi setiap saat. Bahkan satu-satunya hal yang menjadi kepastian di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Lantas ada yang menyebut perubahan sebagai "sunatullah" atau "hukum alam".

Dengan demikian, bagaimana sikap kita terhadap perubahan? Apalagi perubahan semakin hari semakin sulit ditebak. Kesulitan ini berasal dari faktor "derasnya" informasi -sehingga sulit membedakan informasi yang valid- dan posisi kita sebagai "objek" perubahan.

Rasa-rasanya tidak adil kalau menjadikan manusia sebagai "objek" perubahan. Sebab bagaimanapun, dengan modalitas akal, hati, dan panca indera, manusia harus diposisikan sebagai subjek perubahan.

Subjek perubahan berarti memposisikan diri sebagai pihak yang memainkan perubahan. Posisi paling nyaman dalam menghadapi perubahan memang ada dalam subjek. Subjek perubahan bisa menciptakan perubahan itu sendiri. Subjek perubahan bisa melakukan langkah penyesuaian lebih awal daripada yang lain.

Berbeda dengan posisi sebagai objek perubahan. Objek perubahan membuat kita seolah-olah sebagai "korban" perubahan. Korban perubahan yang mana sebagai pihak yang tidak bisa melakukan apa-apa bila menghadapi perubahan.

Syafii Maarif mengibaratkan "objek" perubahan sebagai buih di lautan. Buih di lautan itu tampak di permukaan sangat banyak. Hanya saja buih di lautan ini terombang-ambing gelombang. Perubahan goyang ke kanan, buih ini akan ikut ke kanan. Begitu pula sebaliknya.

Sekali lagi, posisi terbaik dalam menghadapi perubahan adalah sebagai subjek. Bukan objek. Sebagai subjek, ada dua hal yang perlu dilakukan untuk menghadapi perubahan. Dua hal itu adalah adaptasi dan menjadi relevan.

Adaptasi perlu dilakukan untuk penyesuaian diri terhadap perubahan. Adaptasi berarti sekedar bertahan hidup. Oleh karenanya diperlukan adanya relevansi.

Upaya menjadi relevan dilakukan dalam bentuk tindakan agar sesuai dengan perubahan. Jadi kalau sudah beradaptasi dan menjadi relevan, seseorang tidak hanya berhasil mengadapi perubahan tapi juga memenangkan perubahan.

Akhirnya, upaya adaptasi dan menjadi relevan harus tercermin di dalam hati, ucapan dan tindakan. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak terjerumus pada "jebakan" itu sendiri. Jebakan semakin besar bila hanya memikirkan perubahan di dimensi yang tampak. Perubahan di dimensi yang tampak sering berwujud pada pergantian "topeng" dan "menjulurkan lidah".

Rambeanak, 29 Juli 2021

Comments

Baca Juga