"Arah angin berubah lagi."
Semua yang mengamati perubahan pasti memahami ungkapan tersebut. Apalagi bulan ini cukup istimewa. Hanya dalam kurun waktu satu bulan, terjadi dua kali perubahan besar.
Saya tidak akan membahas lebih lanjut tentang dua kali perubahan dan dampaknya. Saya ingin memberikan tanggapan soal perubahan secara umum.
Perubahan terjadi setiap saat. Bahkan satu-satunya hal yang menjadi kepastian di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Lantas ada yang menyebut perubahan sebagai "sunatullah" atau "hukum alam".
Dengan demikian, bagaimana sikap kita terhadap perubahan? Apalagi perubahan semakin hari semakin sulit ditebak. Kesulitan ini berasal dari faktor "derasnya" informasi -sehingga sulit membedakan informasi yang valid- dan posisi kita sebagai "objek" perubahan.
Rasa-rasanya tidak adil kalau menjadikan manusia sebagai "objek" perubahan. Sebab bagaimanapun, dengan modalitas akal, hati, dan panca indera, manusia harus diposisikan sebagai subjek perubahan.
Subjek perubahan berarti memposisikan diri sebagai pihak yang memainkan perubahan. Posisi paling nyaman dalam menghadapi perubahan memang ada dalam subjek. Subjek perubahan bisa menciptakan perubahan itu sendiri. Subjek perubahan bisa melakukan langkah penyesuaian lebih awal daripada yang lain.
Berbeda dengan posisi sebagai objek perubahan. Objek perubahan membuat kita seolah-olah sebagai "korban" perubahan. Korban perubahan yang mana sebagai pihak yang tidak bisa melakukan apa-apa bila menghadapi perubahan.
Syafii Maarif mengibaratkan "objek" perubahan sebagai buih di lautan. Buih di lautan itu tampak di permukaan sangat banyak. Hanya saja buih di lautan ini terombang-ambing gelombang. Perubahan goyang ke kanan, buih ini akan ikut ke kanan. Begitu pula sebaliknya.
Sekali lagi, posisi terbaik dalam menghadapi perubahan adalah sebagai subjek. Bukan objek. Sebagai subjek, ada dua hal yang perlu dilakukan untuk menghadapi perubahan. Dua hal itu adalah adaptasi dan menjadi relevan.
Adaptasi perlu dilakukan untuk penyesuaian diri terhadap perubahan. Adaptasi berarti sekedar bertahan hidup. Oleh karenanya diperlukan adanya relevansi.
Upaya menjadi relevan dilakukan dalam bentuk tindakan agar sesuai dengan perubahan. Jadi kalau sudah beradaptasi dan menjadi relevan, seseorang tidak hanya berhasil mengadapi perubahan tapi juga memenangkan perubahan.
Akhirnya, upaya adaptasi dan menjadi relevan harus tercermin di dalam hati, ucapan dan tindakan. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak terjerumus pada "jebakan" itu sendiri. Jebakan semakin besar bila hanya memikirkan perubahan di dimensi yang tampak. Perubahan di dimensi yang tampak sering berwujud pada pergantian "topeng" dan "menjulurkan lidah".
Rambeanak, 29 Juli 2021
Comments
Post a Comment