Seorang sahabat tiba-tiba mengirim pesan singkat melalui Whatsapp. Dia berkata kalau dia sedang malas berkegiatan. Ku balas saja dengan kata "podho, aku yo hoo."
Tapi kalimatku tidaj berhenti disitu. Kusambung dengan kata-kata bahwa di beberapa kegiatan memang tidak bersemangat. Tapi aku kini sedang bersemangat mendampingi ibu-ibu PKK berkegiatan.
"Mungkin karena ....
Disinilah dikau tau, mereka memberi ruang untuk berkembang" katanya membalas pesanku tadi.
Kubalas juga bahwa kalau ikut emak-emak, ga terlalu banyak "politik" dan berebut eksistensi.
Temanku menjawab, "Power emak2 jos😊 Nah, nyamannya dengan emak2😁"
Cerita di atas menghancurkan mindsetku selama ini. Selama ini, aku malas berurusan dengan emak-emak. Karena aku pernah punya pengalaman kalau sama emak-emak itu merepotkan dan sering "rewel" pada hal remeh temeh.
Dulu saya pernah beberapa kali mengantar ibu-ibu di kampungku "nyumbang manten". Saya bertugas sebagai sopir. Tapi peranku sebagai sopir kalah dengan teriakan ibu-ibu.
"Awas, mas. Ada truk di belakang," teriak salah satu ibu.
Ibu yang lain gantian berteriak, "Mas, pelan-pelan saja." Padahal kendaraan yang dinaiki waktu itu hanya berjalan 40 km/jam.
Selain itu, aku juga pernah merasakan "kejamnya" emak-emak ketika bekerja sama. Emak-emak bisa dengan luwes dan entengnya menyuruh-nyuruhku. Padahal emak-emak ini bisa melakukannya sendiri.
Nilai Plus Emak-emak
Aku kini sadar kalau kerja bareng emak-emak ada ayemnya juga. Keayeman itu karena emak-emak pada umumnya tidak memiliki hasrat politik. Soal eksistensi di kegiatan resmi sering tidak mau. Dan lebih sering menyerahkan ke laki-laki.
Ketidakmauan eksis di kegiatan resmi memang berbanding terbalik dengan hasratnya untuk selfie. Emak-emak suka foto-foto. Tapi kesukaan foto-fotonya ini bukan untuk eksis atau menyaingi "laki-laki."
Inilah yang membuat kerja bareng emak-emak itu ayem. Belum lagi akhir-akhir ini saya sering kerja dengan mayoritas laki-laki. Kami bekerja sebagai tim. Tapi pada akhirnya setiap laki-laki punya obsesinya sendiri-sendiri.
Obsesi ini yang membuat setiap laki-laki muncul untuk mendominasi eksistensi. Setiap laki-laki seolah berebut pengaruh satu sama lain. Hingga akhirnya kerja sama ini tidak bertahan lama karena laki-laki memiliki project sendiri-sendiri untuk mewujudkan obsesinya.
Bahkan yang paling bikin sesak dalam dada adalah ketika kerja sama, rekan tim laki-laki seringku menjalin kerjasama dengan pihak lain. Jalinan kerjasama ini dilakukan sangat halus bahkan di balik layar. Nanti di akhir baru sadar kalau ternyata kita sedang "dikacangi".
Pelajaran dari tulisan ini adalah enaknya kerjasama dengan emak-emak. Tidak ada tendensi untuk berebut eksistensi. Kemudian bila bekerja sama dengan laki-laki harus dilandasi pikiran logis dan jelas pembagian tugasnya.
Karet, 19 Agustus 2020
Catatan: yang disebut laki-laki di atas adalah oknum dan tidak mengandung keumumannya. Artinya tidak semua laki-laki berperilaku seperti di atas.
Comments
Post a Comment