Pilkades sedang ramai dibicarakan di daerah saya. Informasi tentang para calon kepala desa yang mengeluarkan biaya sering terdengar. Akan tetapi, ada juga calon kepala desa yang benar-benar tidak modal karena dibiayai oleh masyarakat secara gotong royong. Ini menjadi pertanda positif dimana civil society telah terbentuk di level akar rumput.
Beberapa kali saya memang melakukan wawancara dengan para calon pemilih dari berbagai desa. Wawancara yang saya lakukan lebih pada obrolan ringan serasa basa-basi. Hasil dari beberapa wawancara golongan menengah ke atas terlihat tidak terlalu antusias dengan perhelatan pilkades. Disinyalir karena mereka lebih bisa menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
Berbeda dengan golongan menengah ke bawah yang menunjukkan antusiasme tinggi. Mereka berbicara dengan polos apa saja yang sudah dilakukan oleh para calon kepala desa di daerahnya. Ada yang mengatakan kalau calon di desa X telah menyiapkan uang tiga koper. Ada juga bilang sudah menyiapkan uang 3 milyar. Bahkan ada juga yang berani menghargai Rp. 200.000 per kepala.
Hiruk pikuk kepala desa harus menyiapkan sejumlah uang menjadi hal yang biasa. Kebetulan juga saya sempat bertemu dengan salah satu camat. Calon Kepala Desa yang berada di wilayah administratifnya sudah berusaha ngirit. Namun dalam menyediakan rokok untuk "lek-lekan" setiap malam ketika doa bersama tidak terasa habis Rp 50.000.000.
Selain cerita "biaya magang lurah" yang sulit dimasukkan akal ada juga calon kepala desa yang benar-benar terpilih karena gotong royong warga. Ini cerita nyata yang terjadi di suatu desa yang tidak bisa saya sebutkan namanya. Karena tensi di desa ini masih sangat tinggi. Sampai-sampai balai desa masih dijaga sampai tulisan ini saya tulis.
Konon katanya, di desa ini ada petahana yang sangat kuat. Pengaruhnya mengakar kuat di masyarakat. Namun pengaruh yang kuat ini tidak berpihak kepada kaum mustadhafin. Dua kali pilkades dengan calon petahana ini sangat keras. Menyiutkan nyali para calon penantang.
Sampai akhirnya, di perhelatan kali ini masyarakat secara diam-diam menjagokan satu calon kepala desa. Awalnya memang diam-diam. Sampai akhirnya masyarakat tahu kalau petahana tahu gerak-gerik sekelompok pendukung non-petahana. Selanjutnya para pendukung ini semakin militan. Semakin ditekan semakin militan.
Suasana tegang ketika pemungutan suara terjadi. Banyak masyarakat yang memilih jalan memutar menghindari rumah petahana. Khawatir "diampirke" untuk sekedar mengicipi makanan yang tersedia. Tegang juga karena semalam beberapa kampung dijaga oleh pemuda karena menolak politik uang.
Penghitungan suara dimulai. Inilah keadaan paling "deg-deg ser". Keadaan ini seperti menanti kelahiran seorang bayi manusia. Ada pertaruhan jiwa dan raga. Harapannya semua selamat. Baik pendukung yang berusaha melahirkan pemimpin baru atau pemimpin baru yang lahir dengan selamat.
Tangis haru pecah ketika lurah baru unggul dalam penghitungan suara. Pemuda-pemudi pendukung kandidat lurah muda langsung berteriak takbir. Takbir yang menurutku muncul dengan alami, bukan takbir pasaran yang diteriakkan di jalanan ketika demo menuntut hal-hal duniawi. Rasanya, murni sebagai wujud syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Massa pengawal penghitungan suara kemudian konvoi ke rumah pak lurah terpilih. Banyak yang kaget, kalau rumah pak lurah terpilih ini bukan rumah "gedong". Malah ada yang beranggapan ini "gedheg". Terungkap juga selama penyelenggaraan doa bersama di malam-malam sebelum pemilihan kepala desa, masyarakatlah yang membawa makanan dan minuman. Benar-benar dari rakyat.
Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa masih ada lho model pemilihan langsung yang benar-benar hasil perjuangan rakyat. Apalagi di tengah era dimana politik transaksional merajalela. Inilah pelajaran yang dapat saya ambil dari lurah terpilih yang ternyata kini kuketahui kalau beliau adalah lulusan "pendidikan non-formal" dari sebuah pondok pesantren.
Minggu, 24 November 2019
Comments
Post a Comment