Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Kisah dalam Leher Botol: Mau Jadi Apa Aku?

Cerpen karya: Rahma Huda Putranto

Saya galau. Saya sudah membuktikan diri mencapai "puncak." Saya mendakinya dengan segala keberuntungan. Tiba-tiba saja semesta membuat beberapa orang mengajakku ke puncak. Caranya dengan menali tubuhku dengan tubuhnya.

Saya ketika sampai puncak melihat dengan jelas semua yang terjadi di bawah, tengah dan puncak itu sendiri. Puncak menjadi tempat yang tidak begitu damai. Karena tempatnya sangat sempit.

Perumpamaan bawah, tengah dan atas itu seperti sebuah botol yang memliki leher sempit. Bawah menjadi tempat yang cukup leluasa. Namun kondisi botol di bawah mengharuskannya mau menerima apapun yang dimasukkan dari atas.

Posisi di bawah pun sulit untuk melepaskan diri. Bisa juga menjebol sisi samping. Hanya saja beresiko. Sehingga satu-satunya jalan keluar yang paling elegan adalah menuju ke atas.

Perjalanan ke atas ini tidak mudah. Apalagi kalau sudah sampai di tengah, di leher botol. Maka ada istilah "bottle neck." Situasi di "bottle neck" menjadikan semua yang berasal dari bawah harus bergiliran sampai ke atas.

Soalan pergiliran melewati leher botol sangat ditentukan banyak faktor. Ada perjuangan dan pengorbanan. Pengorbanan itu bisa berasal dari diri sendiri ataupun orang lain. Pengorbanan diri biasa berupa pengorbanan finansial ataupun idealisme.

Pengorbanan diri dari segi finansial biasanya berupa pengorbanan logistik. Sebelum melewati bottle neck, logistik pun dihimpun. Bila gagal melewati bottle neck, logistik harus dihimpun dari awal lagi. Seperti sebuah siklus yang harus dijalani.

Pengorbanan diri dari segi idealisme berupa pendustaan terhadap ucapan, pikiran dan tindakan yang telah terlontar sebelumnya. Pengorbanan-pengorbanan itu yang bikin malu. Apalagi di era dimana jejak digital begitu mudah diakses dan ditemukan. Arsip digital lawas bisa muncul lagi menghancurkan idealisme yang diyakini saat ini.

Pengorbanan diri sebenarnya tidak separah mengorbankan orang lain. Bottle neck yang mengecil membuat "kuota" atau jumlah orang yang melewatinya semakin sedikit. Cara yang lain yang cukup logis adalah dengan mengurangi kompetitor yang akan melewati leher botol ini.

Pengurangan kompetitor ini sangatlah kejam. Bisa saja dengan "sikut-sikutan" bahkan "bunuh-bunuhan." Menyikut dengan berbagai isu. Sampai-sampai ada yang dijebak dalam perangkap yang tak kasat mata. Yang lebih kejam lagi ketika kompetitor "dibunuh" secara terang-terangan.


Cara Paling Elegan

Ada cara yang elegan untuk melewati bottle neck itu. Yaitu menunggu uluran tangan dari mulut botol. Uluran tangan ini dijulurkan hanya untuk orang-orang terpilih.

Ketika orang terpilih "diambil" dari luar, tentu prosesnya akan lebih mudah. Tapi sesampainya di atas botol ada tantangan tersendiri untuk bertahan. Pasti ada anggapan kalau prosesnya melewati bottle neck ini melalui "nepotisme" atau "anak emas."

Jadi cara paling aman melewati bottle neck dengan cara memanfaatkan juluran tangan dari mulut botol. Urusan bertahan di atas itu pekerjaan selanjutnya. Kalau saja yang diangkat melalui juluran tangan itu memiliki kemampuan, tentu ia bisa bertahan dari goyangan-goyangan isu nepotisme atau titipan "bocahe sapa."

Comments

Baca Juga