Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Mending Ngapa-ngapa Apa Ora Ngapa-ngapa?

Sore ini saya makan bersama di salah satu rumah makan yang suasananya sangat "cozy" alias nyaman. Kriteria nyaman bagi kami yang sudah punya momongan pasti berbeda. Ketika masih muda dulu nyaman itu tempat makan yang romantis. Tapi kini nyaman berarti ada bagian dari rumah makan yang bisa digunakan sebagai "play ground."

Di suasanya yang nyaman ini saya betanya kepada istri soal bisnis. Soalan bisnis ini sering menjadi bahasan kami ketika situasi benar-benar nyaman. Apalagi kami terinspirasi dari bisnis rumah makan ini.

Saya bertanya pada istri, lebih baik mana antara tidak ngapa-ngapain dapat Rp 50.000 atau dapat Rp 85.000 tapi harus "ngapa-ngapa." Pertanyaan ini saya lontarkan bukan tanpa sebab. Pertanyaan ini nantinya akan merembet ke pembahasan soal distribusi tugas.

Istri saya menjawab memilih dapat Rp 50.000 tapi tidak ngapa-ngapain. Ia beralasan tidak ngapa-ngapain lebih baik karena selisih yang didapat tidak terlalu banyak. Hanya Rp 35.000. Saya kaget mendengar hal ini. Karena saat pertanyaan ini dijawab, saya cenderung memilih Rp 85.000 tapi ngapa-ngapain alias terjun langsung di proses produksi.

Lebih dari Sekedar Rupiah

Saya memang berpandangan masih sangat tradisional. Saya suka terjun langsung. Terjun dalam proses produksi. Sampai-sampai semua proses produksi harus dilakukan oleh saya.

Cara tersebut memang ada kelebihannya. Kelebihannya saya puas karena setiap pekerjaan mendapat "sentuhan tangan" saya. Saya bisa memastikan setiap hasil produksi itu baik-baik saja dan nyaris sempurna.

Paradigma itu yang membuat saya tidak senang dengan campur tangan orang lain. Saya berpandangan kalau proses produksi dicampuri dengan campur tangan orang lain hasilnya tidak akan bagus. Jauh dari kesempurnaan.

Namun setiap kelebihan pasti ada kekurangan. Proses produksi yang dilakukan sendiri memiliki kekurangan pada produktifitas. Produktifitas kita sangatlah terbatas. Katakanlah kita hanya memiliki dua tangan. Otomatis produksi kita terbatas pada dua tangan yang digunakan ini.

Berbeda kalau kita menambah penggunaan tangan. Penambahan tangan yang berproduksi tentu akan menambah hasil produksi. Logika sederhana akan membawa kepada simpulan sederhana dimana jumlah hasil produksi dari dua tangan tentu akan lebih sedikit daripada empat tangan.

Kembali ke jawaban istri terkait pertanyaan saya tadi. Jadi, sebenarnya lebih baik mendapatkan Rp 50.000 dan tidak ngapa-ngapain. Karena ketika tidak ngapa-ngapain itu kita bisa menggunakan "modal" waktu kita untuk kegiatan lain.

Ketika kita bisa melakukan sesuatu yang lain, tentu produktifitas kita akan meningkat. Belum lagi ini sesuai dengan prinsip pasive income. Dimana pendapatan tetap bisa kita peroleh walaupun tidak ngapa-ngapain.

Sementara itu, pengorbanan Rp 35.000 itu bisa kita tutup dengan memperkerjakan pekerja tambahan. Caranya dengan menambah produktifitas melalui penambahan "tangan-tangan" yang berproduksi. Lantas bagaimana dengan kekhawatiran ketidakpuasan dan ketidaksempurnaan?

Kekhawatiran akan ketidaksempurnaan sebenarnya hanyalah masalah mental dan paradigma. Kekhawatiran ini bisa dicarikan dengan penggunaan akal dan pikiran. Kekhawatiran akan berkurangnya kesempurnaan sebuah produk dapat diminimalisir.

Peminimalisiran ketidaksempurnaan produk dapat dilakukan dengan pengawasan dan sistem audit. Kita sebagai pemilik dapat merumuskan sebuah sistem pengawasan dan audit. Sistem pengawasan dibuat agar kita dapat memantau setiap proses produksi. Sedangkan audit dilakukan untuk melihat apakah setiap proses dan hasil produksi sudah sesuai standar.

Pada akhirnya, saya setuju dengan pendapat Awwaludin Setya Aji dalam podcastnya bersama Jeda NU Muntilan (bisa ditonton disini: tonton videonya) bahwa dalam setiap pendelegasian itu pasti ada yang "lost" alias hilang. Lost yang pasti berupa berkurangnya modal karena modal harus dialokasikan ke orang yang mendapat delegasi. Sedangkan lost secara kualitas dapat berupa ketidaksempuranaan produk.

Maka solusi paling logis adalah dengan membuat sistem untuk meminimalisir "lost" tadi. Oh iya, lost dalam ketidaksempurnaan produk dapat dikembangkan melalui sistem pengawasan dan audit yang didukung dengan perangkat yang memadai. Sedangkan lost dalam modal bisa diantisipasi dengan penambahan jumlah produksi dan/ atau laba.

Wes to, mending ra ngopo-ngopo tapi entuk duit timbang ngopo-ngopo duit e entuk sithik.

Ngrajek, 4 Januari 2020

Comments

Baca Juga