Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengajar di Uni

Saya merasa Embuh


“Saya merasa Embuh”

Tulisan di atas bukan berasal dari perasaan saya. Kebetulan saya berada di belakang sebuah mobil pick up. Ada kalimat di atas besar sekali. Terpampang di bagian bak belakang mobil pick up. Sayang, mobil tersebut melaju kencang. Padahal saya baru merogoh HP untuk memfotonya.

Saya kira tulisan di atas sangatlah umum dan manusiawi. Banyak orang yang merasakannya. Saya juga pernah merasakan “ke-embuh-an.” Terutama ketika banyaknya tanggung jawab yang perlu diselesaikan. Oh iya, “embuh” bila diartikan dalam Bahasa Indonesia berarti “tidak tahu.”

Maknanya dari kalimat “Saya merasa embuh” kurang lebih menjadi “saya merasa tidak tahu”. Tepatnya, tidak tahu apa yang sedang dirasakan. Sampai-sampai kita bingung. Apa yang sedang dirasakan oleh diri ini. Lantas muncul pertanyaan, apakah gejala “embuh” seperti ini baik bagi diri sendiri maupun orang lain?

Pembaca sekalian tentu akan menjawab tidak baik. Sebab, memang benar-benar tidak baik. Bahaya sekali kalau diri ini tidak mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Bahkan beberapa ada yang terjebak pada rasa “embuh” yang terjadi di masa lalu. Beberapa juga terbuai dengan “ke-embuh-an” masa depan.

Orang dewasa terkadang memang sering merasa “embuh”, tapi anak-anak lebih sering merasakan “ke-embuh-an”. Anak-anak belum dibekali kemampuan dan pengalaman untuk mengidentifikasi perasaannya. Mereka terlihat kesusahan dalam membedakan antara sedih dengan marah.

Parahnya, ada juga di antara kita yang keliru membedakan perasaannya sendiri. Walau usianya sudah memasuki kepala tiga. Sulit membedakan perasaan khawatir dengan takut. Ia merasa takut tapi diidentifikasi oleh dirinya sebagai perasaan khawatir. Padahal keduanya berbeda. Otomatis penangannya pun berbeda.

Ada satu pelajaran berharga ketika menghadapi situasi atau perasaan “embuh”. Pelajaran ini saya peroleh dari program Pendidikan Guru Penggerak. Perasaan “embuh” dapat dilawan dengan metode STOP. Kita berhenti sejenak dari apa yang sedang kita lakukan. Selanjutnya kita menghirup nafas dalam. Tarikan dan hembusan nafas dilakukan dengan rileks tanpa memikirkan apapun.

Ketika hati dan pikiran sudah tenang, kita kemudian membuka mata dan memikirkan hal-hal yang sedang kita hadapi. Pikiran dan perasaan kita akan menjadi lebih segar. Kesegaran ini disinyalir berasal dari asupan oksigen yang masuk sampai ke dalam otak. Alhamdulillah, rasa “embuh” itu hilang. Berganti dengan kejelasan terhadap apa yang kita rasa dan pikirkan.


Rahma Huda Putranto

Blondo, 23 Juli 2022

Comments

Baca Juga