Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah seorang Kandidat Doktor di Bidang Pendidikan dan Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Kini sedang menempuh studi doktoral di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tenga...

Keras Cerdas

 Jalanan malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Saya sedang duduk di teras, ditemani secangkir teh hangat dan keheningan yang nyaman. Pikiran saya melayang, merenungkan sebuah pertanyaan klasik yang mungkin pernah singgah di benak kita semua: Apakah kita perlu bekerja keras seumur hidup?

Jawabannya, bagi saya, adalah perlu.

Bukan sekadar kewajiban untuk memenuhi kebutuhan materi, tetapi ada dimensi yang jauh lebih dalam dari sekadar 'bekerja'. Saya melihat kerja keras sebagai sebuah proses mengasah diri. Ia adalah medan tempa yang membentuk karakter kita. Di dalamnya, kita melatih dedikasi, membangun ketekunan, dan menguatkan rasa tanggung jawab. Ini adalah nilai-nilai fundamental yang membuat hidup terasa utuh dan bermakna, jauh melampaui angka di rekening bank.

Menariknya, saya menyadari bahwa kerja keras tidak dibatasi oleh usia.

Beberapa waktu lalu, saat subuh baru menyentuh ufuk timur, saya pergi ke pasar tradisional. Pemandangan di sana selalu menghangatkan hati. Di tengah hiruk pikuk tawar-menawar, saya sering memperhatikan para sesepuh—para lanjut usia—yang masih bekerja. Ada seorang nenek yang cekatan menata tumpukan sayuran, seorang kakek yang dengan sabar memanggul karung beras. Wajah-wajah mereka... ah, sungguh memancarkan energi yang berbeda.

Mereka bekerja bukan dengan beban di pundak, melainkan dengan semacam keceriaan yang murni. Keringat yang membasahi dahi mereka terasa seperti saksi bisu kebahagiaan. Mereka seolah telah menemukan ritme hidup yang damai: terus bergerak, terus berkontribusi. Mereka mengajarkan saya bahwa kerja keras adalah privilege untuk tetap merasa hidup dan relevan, bukan sekadar kutukan yang harus dihindari.

Namun, tentu saja, ada masa yang paling ideal untuk memancangkan tiang-tiang kerja keras, yaitu semasa muda.

Masa muda adalah waktu yang tak ternilai untuk membangun pondasi. Inilah saatnya kita menginvestasikan energi, waktu, dan bahkan "darah muda" kita untuk mencoba, gagal, dan bangkit lagi. Pondasi yang kuat di masa muda akan menjadi tumpuan yang kokoh ketika badai kehidupan datang.

Setelah pondasi ini selesai kita bangun, setelah kita tahu betul rasanya mengerahkan segala daya, barulah kita bisa melangkah ke fase berikutnya: kerja cerdas.

Kerja cerdas bukan berarti bekerja lebih sedikit, melainkan bekerja lebih efektif. Ia menuntut kita untuk berpikir strategis dan mengedepankan efisiensi. Ia meminta kita untuk berhenti "sekadar sibuk" dan mulai fokus pada hasil yang maksimal. Ini tentang memilih alat yang tepat, bukan sekadar memalu dengan keras.

Namun, di sinilah sering terjadi kesalahpahaman. Narasi tentang "kerja cerdas" sering kali disalahartikan seolah-olah ia dapat sepenuhnya menghilangkan kerja keras. Padahal, hakikatnya, kedua konsep ini adalah dua sisi mata uang yang sama dan harus dilakukan bersamaan.

Tidak ada strategi yang cerdas tanpa adanya ketekunan untuk melaksanakannya (kerja keras). Sebaliknya, kerja keras tanpa strategi yang tepat (kerja cerdas) hanya akan menghasilkan kelelahan yang sia-sia. Keduanya saling melengkapi, menjamin bahwa upaya kita tidak hanya gigih, tetapi juga terarah.

Jadi, ketika kita bekerja, entah itu keras atau cerdas, pada akhirnya kita pasti akan merasakan satu hal: capek.

Ya, rasa capek itu nyata. Ia adalah penanda bahwa kita telah mengerahkan sesuatu dari diri kita. Ia adalah harga yang dibayar untuk pertumbuhan dan pencapaian.

Tentang capek ini, biarlah saya simpan untuk perenungan saya berikutnya. Karena jujur, ada banyak hal menarik dari "rasa capek" itu sendiri yang layak kita bahas lebih lanjut.

Bagaimana menurutmu? Apakah kamu juga merasa bahwa kerja keras adalah dedikasi seumur hidup? Mari berbagi pandangan.


Rahma Huda Putranto

Soto Pak Sambi, 16 Oktober 2025


Catatan tambahan:

Kerja Keras: Dedikasi dan Ketekunan

Kerja Cerdas: Strategi dan Efisiensi

Comments

Baca Juga