Sikap setiap orang terhadap Rapat Akhir Tahun (RAT) koperasi pasti berbeda. Ada yang menunggu RAT, ada yang tidak. Jadi, RAT merupakan kegiatan yang dinanti sebagian orang. Di saat bersamaan, sebagian yang lain menganggapnya biasa saja.
Orang yang menganggap RAT itu biasa saja, biasanya adalah orang-orang yang sudah "turah duit". Maksudnya, orang itu sudah tidak membutuhkan uang. Jadi, dia siap menerima uang tanpa menghitungnya kembali.
Ada juga orang yang menganggap RAT biasa saja karena sudah "eneg" dengan dinamika koperasi tersebut. Koperasi dianggapnya sebagai kumpul-kumpul pengurus. Anggota koperasi yang menganggap RAT biasa saja karena sudah lelah dengan pengurus koperasi yang tidak bisa diberi masukan oleh anggotanya.
Secuek-cueknya orang terhadap RAT, perlu juga "melirik" orang yang benar-benar menunggu datangnya RAT. Kebalikan dari orang yang tidak peduli RAT, orang yang menunggu RAT menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral.
Orang yang peduli dengan RAT pun dapat diidentifikasi dengan mudah. Orang yang menanti RAT biasanya orang yang ingin melihat koperasi ini maju. Ia akan setia menunggu RAT untuk membahas LPJ yang disajikan pengurus. Atas dasar LPJ inilah ia memberikan masukan kepada pengurus agar koperasi bisa berjalan lebih baik.
Ada juga orang yang menanti RAT karena memang benar-benar menghargai uang. Penghargaan akan uang ini bisa juga karena sedang "butuh" uang. Golongan orang seperti inilah yang seharusnya mendapat perhatian lebih.
Orang-orang yang menghargai uang akan tahu cara bagaimana memperlakukan uang SHU yang diperoleh ketika RAT ini. Ya sebenarnya bukan SHU sih yang diharapkan. Lebih kepada uang gaji yang tiap bulan dipotong untuk "manasuka."
Sialnya kalau tergabung ke dalam koperasi dimana anggotanya banyak yang "tidak butuh" uang. Anggota koperasi yang benar-benar menghargai uang menjadi korban. Dengan alasan ini-itu, "yang tidak butuh uang" akan "menyunat" SHU pihak yang menghargai uang.
Modus sunatannya banyak. Ada yang pembulatan lima angka di belakang. Ada yang "mak bruk mak pethuthuk" potongannya sama besarnya. Tentu skema pemotongan ini membuat kecewa.
Model sunatan SHU seperti ini seharusnya dihentikan. Apalagi yang main potong seenaknya seperti perampok. Dimana nilai nominal potongannya disesuaikan dengan kebutuhan "udelnya" sendiri tanpa memikirkan orang lain.
Simpulannya, pemotongan tidak boleh semena-mena. SHU merupakan hak setiap anggota. Bila terpaksa harus memotong SHU, alangkah baiknya dimusyawarahkan terlebih dahulu.
Semua pihak terlibat dalam menentukan besaran potongan tersebut. Yang lebih penting lagi, tujuan pemotongan ini jelas untuk kemaslahatan umum. Bukan kesejahteraan oknum-oknum yang motong karena cuma pengen cari nama atau sebagainya.
Nb:
Oh iya, maksud potong-memotong di atas adalah pemotongan SHU oleh oknum. Contohnya di suatu instansi pemerintahan ada koperasi. Dan SHU dari pengurus koperasi langsunh dititipkan ke bendahara gaji. SHU tidak diberi langsung ke anggota dengan alasan agar lebih memudahkan dalam pendistribusian. Padahal ini menjadi celah bagi bendahara gaji atau pihak tertentu untuk jadi tukang "sunat."
Comments
Post a Comment