Lebaran lagi, lebaran lagi. Lebaran menjadi fenomena yang luar biasa. Lebaran mampu menggerakkan jutaan orang "pulang" ke kampungnya. Walaupun biaya dan resiko perjalanan pulang kampung ini cukup besar.
Fenomena kembali pulang ke tempat asal ini tidak hanya terjadi pada manusia. Hewan juga memiliki rutinitas layaknya orang mudik. Penyu hijau, hewan yang selalu kembali ke pantai tempatnya menetas dulu. Penyu rela melakukan perjalanan ribuan kilometer hanya untuk bertelur di pantai tempat ia menetas dulu.
Ada juga ikan salmon. Ikan salmon juga kembali ke asal. Ia kembali ke tempat asalnya untuk bertelur. Ia lahir dan bertelur di air tawar. Padahal ketika menjadi ikan dewasa, ia menghabiskan banyak waktunya di perairan asin/tepatnya di laut.
Yang paling kentara, adalah burung. Banyak jenis burung yang tinggal di daerah empat musim juga melakukan "mudik." Ia mudik untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi lingkungannya.
Fenomena hewan kembali ke tempat asalnya ini secara ilmiah disebut "anadromous." Para hewan itu juga mengalami hambatan ketika melakukan perjalanan kembali ke asal. Ada ancaman yang berasal dari predator, pemburu, atau kondisi alam yang tak menentu.
Lantas mengapa para hewan itu tetap melakukan perjalanan jauh penuh resiko? Saya menduga ada dua alasan utama. Pertama adalah soal "memori." Kedua, berkaitan dengan keberlanjutan kehidupan.
Soalan memori lebih karena "kebiasaan." Kebiasaan ini disebut oleh sebagian orang dengan "insting." Para hewan ini melakukan perjalanan sama seperti yang induk mereka ajarkan padanya. Jadi alasan pertama ini lebih kepada kebiasaan.
Alasan kedua tentang keberlanjutan hidup ini juga penting. Kebanyakan hewan melakukan perjalanan pulang salah satu tujuannya adalah untuk berkembang biak. Maksud utama dari berkembang biak adalah meneruskan keturunan.
Saya meyakini ada hikmah di balik fenomena mudik. Mudik tidak hanya perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Mudik memiliki makna yang dalam bagi setiap orang. Kalau tidak bermakna, mengapa orang rela mengorbankan harta bahkan menerobos barisan pasukan pengaman di setiap penyekatan mudik?
Manusia mudik ke rumah karena memiliki memori yang terkait dengan kampung halamannya. Kampung halaman menjadi tempat ia belajar mengenal dunia. Kampung menjadi tempat penyemaian nilai-nilai kehidupan sebagai bekal merantau di tanah orang. Kampung halaman menyimpan berbagai memori selalu membuat setiap orang kembali pulang.
Orang-orang yang mudik juga berupaya untuk "melanjutkan hidupnya." Melanjutkan hidup dengan cara bersilaturahmi ke sanak saudara. Masyarakat di sekitar saya, selalu keliling kampung. Masuk-keluar dari satu rumah ke rumah lainnya. Makan di satu rumah dan berpindah ke rumah lainnya.
Lantas apa yang mereka dapat dari silaturahmi dengan sanak saudara di kampung? Apakah ada keuntungan finansial dari bersilaturahmi? Saya rasa, jauh sekali kalau kita membayangkan akan mendapatkan keuntungan finansial secara langsung dari masuk-keluar rumah saudara.
Orang yang ditamui bahkan belum tentu dapat memberikan suguhan yang layak. Namun jangan salah. Ukuran "layak" antara satu orang dengan orang lainnya tidaklah sama. Jadi, mengukur "suguhan" hanya dari sajian makanan/minuman yang ada tidaklah cukup.
Ada suguhan yang sangat layak dan selalu diberikan oleh orang yang menerima tamu. Suguhan ini selalu tersaji dari setiap orang yang menerima tamu. Entah apapun profesinya. Entah seberapa besar kemampuan ekonominya. Sajian ini sarat akan nilai. Dan menjadi penyebab perayaan Idul Fitri terasa sangat religious. Sajian ini berupa "doa" yang tulus dari orang yang bahagia karena menerima kedatangan kita. Perkaya diri di bulan yang fitri dengan silaturahmi. Melalui silaturahmi, doa-doa tulus tersaji.
Rambeanak, 13 Mei 2021
Mon maap lahit batin
ReplyDeleteSama2
Delete